AS Jatuhkan Sanksi untuk 18 Entitas Iran Terduga Pedagang Senjata

Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi baru terhadap 18 entitas asal Iran. Diduga, mereka terlibat perdagangan senjata.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 19 Jul 2017, 14:01 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2017, 14:01 WIB
Gedung Putih (Wikimedia Commons)
Gedung Putih (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Washington, DC - Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi baru terhadap sejumlah entitas dan individu yang memiliki kaitan dengan Iran. Sanksi yang dijatuhkan pada Selasa 18 Juli 2017 itu, diklaim AS, sebagai bagian dari upaya untuk menekan 'aktivitas mengkhawatirkan' Tehran di kawasan.

"Amerika Serikat tetap waspada terhadap aktivitas mengkhawatirkan dari Iran di Timur Tengah, yang mampu mengancam stabilitas, keamanan, dan kesejahteraan di kawasan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert, seperti yang diwartakan CNN, Rabu (19/7/2017).

Nauert juga menyampaikan sejumlah kritik AS terhadap Iran, seperti --menurut klaim Washington, DC-- perdagangan senjata, membantu kelompok teroris, mendukung pemerintahan Presiden Bashar al-Assad di Suriah, isu penyimpangan HAM, serta pengembangan misil dan hulu ledak nuklir yang dianggap melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB.

Pemerintah AS --melalui Kementerian Luar Negeri dan Keuangan-- telah menetapkan sanksi baru terhadap 18 entitas dan individu yang berafiliasi dengan Iran. Dua dari 18 entitas itu, menurut Nauert, diklaim 'terlibat dalam aktivitas yang berkontribusi pada perdagangan senjata penghancur massal.'

Sementara 16 entitas lain, dianggap sebagai 'organisasi kriminal transnasional, pebisnis serta pedagang senjata dan alat militer,' jelas Office of Foreign Assets Control, sub-direktorat Kemenkeu AS yang bertugas khusus dalam analisis dan penetapan sanksi.

Merespons penjatuhan sanksi baru itu, Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan bahwa hal tersebut, 'tidak bermartabat dan omong kosong', serta berjanji akan 'segera membalas' dengan sanksi serupa terhadap entitas asal AS.

Sementara pada Senin 17 Juli lalu di New York, Menlu Iran Javad Zarif menjelaskan bahwa, AS harus memikirkan; penjatuhan sanksi merupakan sebuah kepatutan hukum dan tidak boleh digunakan layaknya 'aset' untuk menekan sebuah negara.

Pada kesempatan berbeda, juru bicara pemerintah Iran Mohammad Bagher Nobakht mengatakan --seperti yang dikutip oleh media pemerintah IRNA-- bahwa 'kami tidak akan duduk bernegosiasi dengan AS, selama mereka masih terus bertindak tidak masuk akal. Meski begitu, pernyataan yang dikatakan oleh Nobakht tidak merinci pada isu penjatuhan sanksi.

Sementara itu, Senin 17 Juli 2017 lalu, Gedung Putih mengumumkan rencana untuk memberikan 'sertifikasi kepatuhan' kepada Iran yang dianggap telah mentaati Join Comprehensive Plan of Action (JCPOA) 2015. Sertifikasi kepatuhan itu rutin diberikan secara berkala.

JCPOA merupakan pakta kesepakatan antara Iran dengan lima anggota tetap DK PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS), Jerman, dan Uni Eropa. Menurut pakta itu, Iran sepakat terhadap sejumlah hal, salah satunya adalah pengurangan stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.

Namun, sejumlah pakar menilai bahwa AS berusaha untuk menunda pemberian sertifikasi tersebut. Alasannya diduga karena, Presiden Donald Trump ingin mempertimbangkan opsi serta memantau apa yang akan terjadi, jika AS menunda pemerian sertifikasi terhadap Iran.

Dan hal itu dibuktikan dengan penjatuhan sanksi baru terhadap Iran pada Selasa 18 Juli 2017. Tak hanya itu, Presiden Trump juga mengindikasikan berencana untuk menarik AS dari pakta JCPOA.

 

Saksikan juga video berikut ini

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya