Liputan6.com, Teheran - Pada hari Sabtu waktu setempat, Hassan Rouhani resmi dilantik menjadi presiden Iran untuk masa jabatan keduanya. Dalam pidato pelantikannya, ia menyerukan agar dilakukan lebih banyak negosiasi antar negara di dunia dalam menyelesaikan konflik.
"Hari ini adalah waktunya melakukan negosiasi, bukan menjatuhkan bom," ujar Presiden Rouhani di hadapan anggota parlemen dan delegasi asing yang menghadiri pelantikannya seperti dikutip dari Al Jazeera pada Minggu (6/8/2017).
Hal tersebut disampaikan Rouhani beberapa hari setelah Amerika Serikat memberlakukan sanksi baru terhadap Negeri Para Mullah tersebut. Washington menuding Teheran melanggar kesepakatan nuklir yang ditandatangani pada tahun 2015. Namun, tuduhan tersebut dibantah Iran.
Advertisement
Duduk di antara para tamu dalam pelantikan Rouhani adalah Federica Mogherini, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa. Mogherini telah berjanji akan terus melanjutkan hubungan dengan Iran di tengah desakan AS agar mengisolasi negara itu.
Dalam kesempatan tersebut, Rouhani menyerupakan upaya yang lebih besar untuk menjaga kesepakatan nuklir Iran.
"Tudingan berulang dari pemerintah AS soal pelanggaran komitmen...dapat merusak," kata Rouhani.
"Seluruh pihak memiliki tanggung jawab yang kuat untuk menjaga kesepakatan yang dicapai dengan susah payah ini," ungkapnya.
Presiden Iran itu juga bersumpah akan merespons pelanggaran atas kesepakatan tersebut. "Dunia harus tahu bahwa setiap pelanggaran kesepakatan akan menghadapi reaksi terpadu dari pemerintah dan rakyat Iran."
Baca Juga
Presiden Zimbabwe Robert Mugabe turut hadir dalam acara pelantikan Rouhani. Sementara itu Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani dikabarkan absen tanpa diketahui penyebabnya.
Kandidat Kabinet
Pasca-pelantikan Rouhani, kini publik dibuat penasaran dengan susunan kabinetnya. Pria berusia 68 tahun itu sebelumnya mendapat kritikan mengingat di pemerintahan sebelumnya ia tidak menunjuk seorang pun wanita untuk mengisi kursi menteri.
Dalam pemerintahan terdahulunya, Rouhani memang memiliki tiga perempuan yang duduk sebagai wakil presiden. Namun, tugas mereka tidak strategis dan kehadiran mereka tidak memerlukan persetujuan parlemen.
Selain itu, sebelumnya Rouhani juga tidak menyertakan kelompok reformis dalam kabinetnya.
"Padahal kelompok reformis yang memungkinkannya memenangkan pemilu 2013 dan 2017...dia harus mendengarkan mereka yang mendukungnya," tutur Rassoul Montajabnia seorang reformis dari National Confidence Party kepada surat kabar Arman.
Rouhani meraih kemenangan dalam Pilpres 2017 dengan mengalahkan Ebrahim Raisi. Dalam kampanyenya, Rouhani berjanji untuk terus membangun kembali hubungan dengan Barat dan mengurangi pembatasan sosial di dalam negeri.
"Rouhani menciptakan banyak harapan dan sekarang timbul perasaan bahwa ia mundur dari janji-janjinya," ungkap Ali Shakourirad, kepala Partai Persatuan Kaum Reformis.
Menurut Shakourirad, ketiadaan perempuan dalam kabinet Rouhani membuat sang presiden mendapat tekanan dari kalangan religius konservatif.
Susunan kabinet sendiri akan diumumkan dalam beberapa hari mendatang. Sebelum resmi bekerja, kelak kabinet harus mendapat persetujuan dari parlemen.
Diprediksikan sejumlah nama yang sebelumnya menduduki posisi menteri seperti Mohammad Javad Zarif yang menjabat sebagai menteri luar negeri dan Bijan Namadar Zanganeh yang menjabat sebagai menteri perminyakan akan bertahan.
Â
Saksikan video berikut: