Liputan6.com, Naypyidaw - Tujuh tentara Myanmar divonis 10 tahun penjara dengan kerja paksa di daerah terpencil karena berpartisipasi dalam pembantaian 10 pria muslim Rohingya di sebuah desa di barat laut Rakhine pada September 2017. Pengumuman tersebut dirilis oleh militer Myanmar pada Selasa, 10 April 2018.
Militer Myanmar menyebutkan bahwa ketujuh tentara tersebut telah "melakukan tindakan yang melawan mereka" karena "berkontribusi dan berpartisipasi dalam pembunuhan".
"Empat perwira diberhentikan secara permanen dari militer dan dijatuhi hukuman 10 tahun dengan kerja paksa di sebuah penjara di daerah terpencil. Tiga tentara dicopot dan dihukum 10 tahun penjara dengan kerja paksa di penjara kriminal," tulis militer Myanmar di Facebook seperti dikutip dari Theguardian.com, Rabu (11/4/2018).
Advertisement
Dalam pernyataan itu disebutkan pula bahwa proses hukum terhadap personil polisi dan warga sipil yang "terlibat dalam kejahatan" masih berlangsung.
Pembantaian tersebut tengah diselidiki oleh dua jurnalis Reuters, Wa Lone (31) dan Kyaw Soe Oo (28), sebelum akhirnya mereka ditangkap pada Desember 2017 atas tuduhan melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi negara.
Baca Juga
Pada Februari lalu, pihak berwenang mengatakan pada Reuters, militer telah membuka penyelidikan internal secara independen dan itu sama sekali tidak terkait dengan penangkapan wartawan Reuters, yang dituduh mendapatkan dokumen rahasia pemerintah yang tidak terkait.
Sepuluh warga Rohingya di Inn Din yang menjadi korban pembunuhan dimakamkan di sebuah kuburan massal pada awal September setelah mereka dianiaya hingga tewas. Peristiwa pembunuhan di Inn Din dilaporkan merupakan bagian dari penumpasan yang dilakukan militer terhadap warga Rohingya.
PBB dan Amerika Serikat menilai dugaan pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, dan penjarahan yang berlangsung selama ini terhadap warga Rohingya adalah tindak pembersihan etnis, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Myanmar.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Satu-satunya Kasus yang Diakui
Kekejaman di Desa Inn Din yang terjadi pada 2 September 2017 merupakan satu-satunya insiden pembantaian terhadap Rohingya yang diakui militer Myanmar selama penindasan di Rakhine, yang menyebabkan 700 ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus 2017.
Amnesty International menyebut kekejaman di Inn Din sebagai fenomena puncak gunung es. Kelompok itu pun telah berulang kali mendesak dilakukannya penyelidikan yang luas terhadap kekejaman yang menimpa etnis Rohingya.
Organisasi Dokter Lintas Batas (MSF) memprediksikan terdapat 6.700 warga Rohingya yang terbunuh saat bulan pertama operasi militer.
Myanmar bersikeras bahwa operasi militer merupakan respons untuk memerangi teroris. Myanmar juga menyalahkan media internasional yang menyebarkan informasi salah dan cenderung memihak Rohingya.
Advertisement