Liputan6.com, Austin - Kelaparan melanda satu dari sembilan orang di seluruh dunia. Angka tersebut dilaporkan terus meningkat. Kemiskinan bukan penyebab satu-satunya, kata Robert Opp dari Program Pangan Dunia PBB.
"Kami melihat semakin banyak yang kelaparan karena kehilangan tempat tinggal, terkait konflik dan bencana alam," ucap Opp seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (16/4/2018).
Baca Juga
Organisasi-organisasi kemanusiaan memanfaatkan teknologi-teknologi baru, seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk mengatasi kelangkaan pangan global.
Advertisement
"AI membantu meningkatkan kapasitas manusia. Jadi, ini bukan soal menggantikan peran manusia dan hal-hal lain. Tapi kita bisa melakukan lebih banyak dan melakukannya dengan lebih baik dibandingkan manusia saja," kata Opp menambahkan.
Kecerdasan buatan bisa menganalisa data dalam jumlah besar, membantu para petani di negara-negara berkembang, serta menemukan wilayah yang terkena dampak konflik dan bencana alam. Data itu kemudian bisa diakses oleh para petani dari ponsel mereka.
"Misalnya, apabila Anda menggunakan data khusus dan pemetaan dan menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisanya, Anda bisa mengirim informasinya kepada saya. Intinya, Anda bisa membantu memberitahu saya kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Apa yang harus ditanam. Bagaimana menanamnya," kata Uyi Stewart dari Yayasan Bill dan Melinda Gates.
Zenia Tata dari Xprize mengatakan, ketika para ilmuwan mulai memadukan teknologi, kecerdasan buatan, robotik, sensor, maka orang-orang bisa melihat hasil positifnya pada kebun-kebun untuk produksi. Selain itu juga bisa meningkatkan hasil panen.
Tetapi negara-negara berkembang kerap menjadi yang terakhir menerima teknologi baru ini.
"Ada 815 juta orang kelaparan dan saya yakin bahwa hampir 814 juta di antaranyu tidak punya ponsel," ujar Uyi.
Meskipun teknologi telah tersedia, masih ada tantangan lain untuk menerapkan kecerdasan buatan di sektor pertanian.
"Banyak orang kelaparan tidak bisa berbahasa Inggris, jadi ketika kita memiliki teknologi ini, bagaimana kita bisa meneruskannya kepada mereka?" lanjut Uyi.
Walaupun perlu waktu bagi teknologi baru untuk mencapai negara-negara berkembang, banyak orang berharap teknologi itu bisa menjamah kawasan yang mengalami kelangkaan pangan.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kecerdasan Buatan Mengancam Masa Depan Manusia?
Para pakar teknologi menyebut masa depan Bumi tengah berada dalam ancaman kecerdasan buatan, di mana berisiko mengambil alih hampir 10 persen aktivitas manusia dalam jangka waktu 50 tahun ke depan.
Dilansir dari Independent pada Kamis 22 Februari 2018, sebuah laporan baru yang disusun oleh 26 pakar terkemuka melukiskan gambaran mengerikan tentang dunia dalam 10 tahun ke depan.
Di masa depan, pemanfaatan kecerdasan buatan cenderung memberdayakan semua orang, termasuk pemerintahan 'nakal', penjahat, dan teroris, laporan tersebut memperingatkan.
Jika orang-orang, termasuk pembuat kebijakan dan peneliti tidak bekerja sama, maka ancamannya bisa menembus beberapa bagian paling mendasar dalam kehidupan manusia.
Ancaman terkait bisa berasal dari serangan pesawat tak berawak, hingga robot yang digunakan untuk memanipulasi agenda berita dan proses pemilihan umum.
Laporan bejudul Penggunaan Kecerdasan Buatan yang Berbahaya: Peramalan, Pencegahan, dan Mitigasi ini menyebut beberapa kemungkinan ancaman terburuk yang sulit dibayangkan.
Bentuk kecerdasan buatan yang sangat mungkin mengancam adalah teknologi pencipta ucapan sintetis. Teknologi ini bisa dimanfaatkan dalam pembuatan video propaganda terselubung oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Laporan tentang ancaman kecerdasan buatan ini telah disusun oleh para ahli dari berbagai institusi terkemuka di dunia.
Oleh beberapa lembaga intelijen yang turut terlibat di dalamnya, pertemuan pembahasan lintas pemikiran terkait merupakan yang pertama dalam sejarah.
Tidak hanya bermanfaat, perkembangan kecerdasan buatan juga mulai disadari memiliki beberapa ancaman serius yang merusak tatanan hidup manusia.
Laporan tersebut mencakup masukan dari perwakilan OpenAI, kelompok penelitian yang didirikan oleh Elon Musk; Institusi Kemanusiaan Masa Depan Universitas Oxford; dan Pusat Studi Kajian Risiko Eksternal di Universitas Cambridge.
"Kecerdasan buatan adalah salah satu penentu masa depan, dan laporan ini telah menyiratkan kemungkinan terburuk dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang," ujar Dr. Sean O Heigeartaigh, ilmuwan sekaligus direktur eksekutif pada Pusat Studi Kajian Risiko Eksternal di Universitas Cambridge.
Menurut Dr. Heigeartaigh, laporan terkait menyarankan pendekatan lebih luas yang mungkin bisa membantu, seperti bagaimana merancang perangkat lunak dan perangkat keras agar tidak dapat diretas, mengkaji undang-undang dan peraturan internasional mana yang relevan, dan lain sebagainya.
Advertisement