Liputan6.com, Moskow - Rusia telah memosisikan armada laut yang cukup besar di Laut Mediterania dekat Suriah, setelah menuduh Amerika Serikat tengah berencana untuk merekayasa serangan senjata kimia di wilayah yang dikuasai pemberontak di Suriah.
Pihak Kremlin menuding, AS menggunakan dalih serangan senjata kimia untuk mendiskreditkan pemerintahan Bashar al-Assad yang didukung Rusia.Â
Namun, langkah Rusia yang mengerakkan pasukan di dekat Suriah dinilai oleh beberapa pihak seolah-olah sedang mempersiapkan perang dengan AS. Hal ini menyusul peningkatan tensi perang proksi (proxy war) antara keduanya di Suriah, negara yang tengah dilanda konflik menahun.
Advertisement
Baca Juga
Seorang juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia, Mayjen Igor Konashenkov, baru-baru ini mengatakan AS telah membangun kekuatan angkatan lautnya di Mediterania dan menuduh Washington DC tengah "mempersiapkan provokasi besar di Suriah menggunakan dalih zat kimia beracun untuk mengguncang situasi dan mengganggu stabilitas dinamika proses perdamaian yang sedang berlangsung," demikian seperti dikutip dari Business Insider, Rabu (29/8/2018).
Namun Pentagon, pada Selasa, membantah adanya pergerakan semacam itu. Kemenhan AS menyebut klaim Rusia "tidak lebih dari propaganda" dan memperingatkan bahwa militer AS "tidak dalam kondisi siap menyerang, bahkan jika presiden mengarahkan tindakan seperti itu."
Business Insider meninjau monitor lalu lintas maritim di Laut Mediterania dan hanya menemukan satu fregat Angkatan Laut AS kelas penghancur (destroyer-class) yang dilaporkan berada di area dekat Suriah. Kabarnya kapal perang tersebut adalah USS Ross.
Di sisi lain, menurut tinjauan media asing terhadap monitor lalu lintas maritim di Laut Mediterania, Rusia mungkin memiliki hingga 13 kapal militer di wilayah itu, plus satu kapal selam yang tengah dalam perjalanan.
Â
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Â
Simak video pilihan berikut:
Saling Tuduh soal Serangan Senjata Kimia
Negara Barat dan pemantau internasional telah menghubungkan rezim Presiden Bashar al-Assad dengan lebih dari 100 serangan senjata kimia sejak awal perang saudara Suriah. Sebagai respons, Rusia --sekutu utama Assad-- telah sering membuat klaim sanggahan tentang hal tersebut, sebagai upaya untuk membela rezim yang berkuasa.
Tak hanya itu, Rusia juga kerap merespons dengan menyebut bahwa serangan senjata kimia tersebut adalah "fabrikasi AS dan sekutunya", sebagai alasan untuk menyerang balik Suriah. Itu juga dilakukan untuk membantu mendukung pemerintah Suriah yang lemah dalam menindak salah satu benteng pemberontak terakhir, kata Anna Borshchevskaya, seorang ahli kebijakan luar negeri Rusia di Washington Institute for Near East Policy, mengatakan kepada Business Insider.
Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika Assad benar-benar melakukan serangan senjata kimia, "terutama untuk men-demoralisasi pasukan pemberontak," kata Borshchevskaya.
"Assad mungkin memilih senjata kimia karena kekuatan militer konvensionalnya telah melemah selama tujuh tahun konflik."
Sejak Presiden Donald Trump berkuasa, AS telah dua kali menyerang Suriah -- pada pertengahan 2017 dan pertengahan 2018 -- sebagai tanggapan terhadap apa yang disebut sebagai bukti tak terbantahkan dari serangan-serangan senjata kimia terhadap warga sipil.
Gedung Putih juga telah memperingatkan bahwa setiap serangan kimia lebih lanjut yang dikaitkan dengan pemerintah Suriah, akan dibalas dengan lebih banyak serangan dari AS.
Advertisement