Mengapa Tsunami Selat Sunda Datang Tanpa Peringatan, Ini Teori Para Ilmuwan Asing

Tsunami Selat Sunda yang menerjang Sabtu malam 22 Desember 2018 sekitar pukul 21.27 WIB bukan tsunami biasa.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 24 Des 2018, 12:35 WIB
Diterbitkan 24 Des 2018, 12:35 WIB
Mobil Diterjang Tsunami Anyer
Dua unit mobil tertimbun reruntuhan rumah yang rusak setelah tsunami menerjang kawasan Anyer, Banten, Minggu (23/12). Tsunami menerjang pantai di Selat Sunda, khususnya di daerah Pandenglang, Lampung Selatan, dan Serang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Tsunami Selat Sunda yang menerjang Sabtu malam 22 Desember 2018 sekitar pukul 21.27 WIB bukan tsunami biasa. Gelombang gergasi datang tanpa peringatan. Tak ada gempa atau guncangan apapun yang mengawalinya.

Juga tak ada waktu emas (golden time) tsunami yang rata-rata adalah 30 menit setelah gempa mengguncang. Mereka yang kala itu berada di pesisir Selat Sunda di Banten dan Lampung tak sempat mengevakuasi diri. Bahkan tak ada yang menyadari bahaya sedang menjelang. Akibatnya, setidaknya 282 orang meninggal dunia dan 1.016 lainnya luka-luka.

Diduga, kemunculan gelombang raksasa muncul terkait dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau yang sejak Juni lalu telah aktif erupsi.

Seperti dikutip dari nbcnews.com, Senin (24/12/2018), ada dua teori soal penyebab terjadinya tsunami Selat Sunda: longsor di bawah air atau semburan lava cair yang bisa memicu gelombang.

Meski demikian, sejumlah ahli mengatakan, kemungkinan besar tsunami Selat Sunda dipicu oleh tanah longsor.

"Itu bukan tsunami biasa," kata Costas Synolakis, Direktur Tsunami Research Center di University of Southern California. "Itu adalah tsunami volkanik...yang tidak memicu peringatan."

Synolakis menambahkan, sistem peringatan tsunami tak berguna dalam konteks itu.

Gunung Anak Krakatau berada relatif dekat dengan pesisir di Banten maupun Lampung.

Tsunami Selat Sunda pada Sabtu malam kemungkinan melanda 20 hingga 30 menit setelah semacam aktivitas vulkanik, demikian menurut Synolakis.

"Gunung berapi adalah sesuatu yang hidup. Yang secara geologis tidak selalu dalam kondisi stabil," kata Emile Okal, profesor emeritus ilmu bumi di Northwestern University, yang telah mempelajari tsunami selama 35 tahun. "Hingga akhirnya akan terjadi tanah longsor, dan jika berada di bawah air, itu akan memindahkan badan air dan menciptakan gelombang."

Okal mengatakan, untuk mendeteksi tsunami dengan benar, pihak Indonesia membutuhkan dana sekitar satu miliar dolar untuk menyediakan perangkat teknologi dan pengawasan manusia di sepanjang pesisirnya.

Namun, bahkan jika persyaratan tersebut bisa dipenuhi, bukan jaminan peringatan tsunami akan datang pada waktunya.

Dan, fakta bahwa tsunami disebabkan oleh gunung berapi, bukan gempa bumi, bukan satu-satunya alasan mengapa tsunami Selat Sunda bisa sangat mematikan.

"Yang lebih buruk, tsunami terjadi pada malam hari," kata Okal. Gelombang raksasa muncul saat laut sedang pasang, yang meningkatkan dampak bahayanya.

Apalagi, di pesisir Anyer saat itu sedang berlangsung malam keakraban karyawan PLN yang dimeriahkan penampilan band Seventeen. Ratusan orang menyemut di sekitar panggung yang membelakangi pantai.

Rekaman video yang diambil dari lokasi kejadian merekam detik-detik gelombang menerjang dari belakang panggung dan menyeret vokalis dan personel Seventeen.

"Bukan ide yang baik untuk mengadakan konser di pantai yang dekat dengan gunung berapi yang sedang erupsi," kata Okal.

Sementara itu, Gegar Prasetya, salah satu pendiri Pusat Penelitian Tsunami Indonesia mengatakan, meskipun memicu kehancuran dan menimbulkan banyak korban jiwa, tsunami Selat Sunda bukan yang terbesar yang pernah melanda Indonesia.

Pada bulan September, lebih dari 2.500 orang tewas akibat gempa dan tsunami yang melanda kota Palu, Sulawesi Tengah.

"Sebenarnya, tsunaminya tidak terlalu besar, hanya satu meter," kata Prasetya, yang mempelajari Anak Krakatau. "Masalahnya adalah orang selalu cenderung membangun dekat dengan garis pantai."

 

Saksikan video terkait tsunami Selat Sunda berikut ini:

Penjelasan BMKG

Tsunami Anyer
Sebuah rumah terlihat antara puing-puing bangunan setelah tsunami menerjang kawasan Anyer, Banten, Minggu (23/12). Tsunami menerjang pantai di Selat Sunda, khususnya di daerah Pandenglang, Lampung Selatan, dan Serang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan peristiwa tsunami di Selat Sunda pada Sabtu malam (22/12/2018), sekitar pukul 21.27 WIB, tidak dipicu oleh gempa bumi.

Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, tsunami yang terjadi di Selat Sunda tersebut diakibatkan dari erupsi Gunung Anak Krakatau.

"Ada indikasi yang terjadi memang pada hari yang sama, gelombang tinggi erupsi gunung itu mengakibatkan tsunami," ungkapnya dalam jumpa pers, di Jakarta, Minggu 22 Desember 2018.

BMKG akan mengecek langsung ke lokasi kejadian untuk mencari tahu secara pasti penyebab tsunami yang dirasakan di wilayah Banten dan Lampung. "Energinya cukup kuat. Paling penting tetap tentang, jangan berada di Pantai Selat Sunda," tuturnya.

Berdasarkan hasil pengamatan tidegauge (sementara) BMKG, didapatkan data sebagai berikut terkait tsunami di Banten dan Lampung:

a. Tidegauge Serang di pantai Jambu, desa Bulakan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang: tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian 0,9mb.

b. Tidegauge Banten di pelabuhan Ciwandan, Kecamatan Ciwandan: tercatat pukul 21.33 WIB ketinggian 0,35mc.

c. Tidegauge Kota Agung di Desa Kota Agung, Kecamatan Kota Agung, Lampung: tercatat pukul 21.35 WIB ketinggian 0,36md.

d. Tidegauge pelabuhan Panjang, Kecamtan Panjang Kota Bandar Lampung: tercatat pukul 21.53 WIB ketinggian 0,28m

"Masyarakat diimbau agar tetap tentang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

"Masyarakat juga diimbau untuk tetap menjauh dari pantai perairan Selat Sunda hingga ada perkembangan informasi dari BMKG dan Badan Geologi," jelas Dwikorita.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya