Liputan6.com, Jakarta - Definisi penyebutan masyarakat Barat kerap berakhir pada konsep tata kehidupan orang kulit putih yang berpikiran maju dan terbuka.
Belum tentu benar atau salah, namun anggapan bernada superioritas itu menjadi tema yang dimainkan secara apik oleh Bruce Beresford dalam film berjudul Ladies in Black.
Berlatar waktu pada 1959 silam, film ini menceritakan tentang suka duka para pramuniaga toko serba ada (toserba) mewah Goode's di Kota Sydney, Australia, di mana secara eksplisit memperlihatkan sisi inferiro warga kulit putih di tengah komunitas Barat.
Advertisement
Baca Juga
Terdapat terminologi "reffo" yang merujuk pada kelompok pendatang kulit putih dari Eropa setelah Perang Dunia II. Tidak seperti imigran di negara Barat pada umumnya, mereka justru memandang rendah penduduk lokal, meski berkulit serupa.
Anomali konsep superior-inferior inilah yang menjadi salah satu tema unik dalam pembukaan Festival Sinema Australia Indonesia 2019, yang kali ini telah memasuki tahun keempat.
Dibuka oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, festival tahun ini kembali mengangkat isu-isu Australia kontemporer, yang seringkali jauh dari ciri sinema Barat pada umumnya.
"Sejarah panjang perfilman kami dapat ditelusuri jauh ke awal 1900-an, ketika The Story of Kelly Gang menandai film kisah pertama di Australia, jauh lebih dulu dari Hollywood yang sangat berjaya sekarang," ujar Dubes Quinlan, dalam pembukaan Festival Sinema Australia Indonesia 2019, di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
"Kami akui memang ada masa panjang kelesuan perfilman Australia, namun semua telah berubah sekarang, para sineas kami semakin agresif mengembangkan kisah-kisah yang berciri khas 'kami', yang memvisualisasikan bagaimana kehidupan Australia, dan segala dinamika yang menyertainya. Ini yang membuat kami unik," lanjutnya panjang lebar.
Dubes Quinlan juga menambahkan bahwa Indonesia menjadi mitra penting dalam perkembangan industri perfilman Australia, terutama setelah kebangkitan film nasional di awal 2000-an.
"Kita (Australia dan Indonesia) memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama memiliki penduduk beragam, di mana multikulturalisme menjadi nilai kuat bagi kedua negara," jelas Dubes Quinlan.
Melalui festival terkait, Dubes Quinlan berharap tentang terciptanya ekosistem kreatif dalam bertukar perspektif, yang saling menguatkan industri perfilman di Australia dan Indonesia.
"Saya melihat pertumbuhan atensi dan partisipasi yang semakin baik dari tahun ke tahun, sehingga saya yakin bahwa infustri film di Australia dan Indonesia akan menguatkan satu sama lain," ujar Dubes Quinlan melanjutkan.
"Film adalah salah satu media terbaik untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih besar tentang negara dan budaya lain," pungkasnya.
Simak video pilihan berikut:
Dihelat di Lima Kota Besar Indonesia
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kini Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2019 menambahkan daftar kota yang disinggahinya, menjadi total lima titik, yakni Jakarta, Surabaya, Makassar, Bandung, dan Mataram.
Berlangsung pada periode 14-31 Maret 2019, festival ini akan memutar berbagai film pilihan dari Australia dan Indonesia secara gratis, termasuk film-film pendek yang telah dikurasi oleh Flickerfest, salah satu festival film pendek bergengsi dunia.
Selain Ladies in Black, beberapa film Australia yang terpilih untuk diputar di festival ini adalah GURRUMUL karya sutradara dan penulis dokumenter Paul Damien Williams, drama keluarga Storm Boy, film fiksi ilmiah Occupation, dan masih banyak lainnya.
Adapun film Indonesia yang ditampilkan dalam festival terkait, di antaranya adalah dua film Ada Apa Dengan Cinta karya sineas Mira Lesmana, yang tahun ini ditunjuk sebagai Sahabat FSAI.
Selain itu, penonton juga berkesempatan menonton film pemenang penghargaan karya Kamila Andini, The Seen and Unseen.
Seluruh pemutaran film di festival ini tidak dipungut biaya, alias gratis, dan tiket bisa didapatkan dengan mendaftar di fsai2019.eventbrite.com.
Advertisement