Akankah Timur Tengah Damai Jika AS Angkat Kaki? Ini Kata Pengamat

Pengamat berkata perdamaian Timur Tengah tak bisa diraih dengan instan lewat kepergian AS.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 24 Jan 2020, 11:30 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2020, 11:30 WIB
Kian Membara, 27 Demonstran Irak Ditembak Mati dalam Sehari
Pasukan keamanan berusaha membubarkan demonstran antipemerintah selama bentrokan di Najaf, Irak, Kamis (28/11/2019). Kerusuhan di Ibu Kota dan wilayah selatan Irak terus meningkat setelah pembakaran gedung Konsulat Iran. (AP Photo/Anmar Khalil)

Liputan6.com, Jakarta - Konflik di negara-negara Arab masih terus menjadi topik panas di ranah geopolitik. Indonesia yang memiliki banyak warga Muslim otomatis memiliki ketertarikan dengan isu Timur Tengah dan Dunia Arab pada umumnya. 

Awal 2020, Timur Tengah kembali bergejolak karena perseturuan Amerika Serikat dan Iran. Presiden Donald Trump memerintahkan agar Jenderal Qasem Soleimani untuk ditembak dengan drone. Ia merupakan tokoh penting di kalangan politik, militer, dan proksi Iran. 

Pengamat pun menyebut bahwa Iran semakin bertekad mengusir AS dari Timur Tengah. Wacana Iran sebetulnya bukanlah hal baru, karena dalam komunitas Muslim sering mengkritik intervensi AS di Timur Tengah yang dituding membuat gaduh. 

Namun, pengamat Timur Tengah Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi berkata perdamaian di Timur Tengah tak cukup diraih dengan meminta AS angkat kaki. Dalam diskusi round table Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Yon Machmudi mengingatkan setelah AS pergi ada potensi munculnya pemain yang lebih agresif. 

"Ketika hegemoni Amerika itu tidak ada, apakah kemudian Timur Tengah menjadi damai? Saya kira Timur Tengah juga harus bersiap karena dikhawatirkan muncul rezim-rezim baru yang tidak punya kepatuhan dengan norma internasional, dan bersifat agresif karena dulunya terkekang. Dan itu memberikan ancaman-ancaman regional ke negara lain," ujar Yon Machmudi di diskusi CDCC yang dimuat Jumat (24/1/2020). 

Beberapa ancaman yang ia sebut adalah kelompok-kelompok militer dan proksi. Ia mencontohkan seperti militer di Yaman yang kini berperang melawan pemerintah sah. 

Yon Machmudi berkata jalur terbaik adalah agar pihak asing seperti AS supaya angkat kaki. Di saat yang sama, negara-negara Timur Tengah pun harus saling berdiplomasi dan menghargai satu sama lain. 

"Cara terbaik aktor luar menarik diri kemudian Timur Tengah melakukan rekonsiliasi dan siap dengan perbedaan yang ada," ucap dia. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

AS Tak Mau Pergi karena Dapat Undangan

Presiden AS, Donald Trump
Presiden AS, Donald Trump. (Liputan6/AP)

Yon Machmudi berkata koordinasi antara negara Timur Tengah diperlukan, salah satunya agar tidak perlu lagi mengundang aktor luar. Dalam hal ini, AS disebut ogah pergi karena diundang negara-negara Timur Tengah.

"Amerika selalu berdalih kehadiran kami diundang. Di Irak kami diundang oleh pemerintah, kami membiayai melatih mereka dan sebagainya, kok sekarang kami diusir-usir," jelas Yon Machmudi.

Presiden Donald Trump pun sempat kesal karena parlemen Irak sempat menuntut AS supaya angkat kaki usai penembakan Soleimani di Baghdad. Namun, dalih pemerintah Irak adalah karena ISIS sudah dikalahkan sehingga AS perlu pergi.

Trump sebelumnya sempat menyuruh pasukannya angkat kaki jika Irak mau membayar pangkalan militer mahal yang AS bangun di sana. Pada akhirnya wacana menyuruh AS pergi tidak berjalan. 

Donald Trump sendiri memang punya program menarik mundur pasukan AS dari Timur Tengah. Prioritasnya saat ini adalah menarik mundur dari Afganistan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya