Dianggap Vaksin Pasif, Plasma Darah Pasien Sembuh dari Corona Dijual Pasar Gelap Online

Darah yang diduga berasal dari pasien yang sembuh dari Virus Corona COVID-19 kabarnya dijual di pasar gelap online. Plasma dari darah ini disebut-sebut sebagai "vaksin pasif".

diperbarui 01 Mei 2020, 16:58 WIB
Diterbitkan 01 Mei 2020, 16:58 WIB
Plasma Darah
Plasma darah. (iStock)

Victoria - Beragam penelitian kini tengah berupaya membuat vaksin Virus Corona baru untuk mengobati penyakit COVID-19. Plasma darah sempat mengemuka jadi salah satu obatnya, namun belum ada pembuktian terkait hal tersebut.

Saat ini, darah yang diduga berasal dari pasien yang sembuh dari Virus Corona COVID-19 kabarnya dijual di pasar gelap online. Plasma dari darah ini disebut-sebut sebagai "vaksin pasif".

Peneliti dari Australia National Univesity (ANU) di Canberra menemukan hal tersebut di internet, ketika mereka melakukan penelitian bagaimana kelompok kriminal berusaha memanfaatkan keadaan sekarang untuk mencari keuntungan.

Institut Kriminologi Australia, bagian dari ANU, mengeluarkan laporan resmi mengenai hal tersebut hari Kamis 30 April 2020.

"Kata yang digunakan adalah vaksin pasif, dimana plasma darah dari pasien yang sembuh dari COVID-19 diambil untuk menjadi antibodi, kemudian disuntikkan kepada seseorang yang mungkin beresiko terkena COVID-19," kata peneliti ANU, Rod Broadhurst kepada ABC yang dikutip Jumat (1/5/2020).

Penjualan plasma sebagai vaksin pasif merupakan satu dari ratusan produk terkait dengan Virus Corona COVID-19 yang ditemukan tim peneliti di internet dalam satu hari saja di awal April.

Barang-barang untuk keperluan medis, seperti alat perlindungan diri (APD) yang kemungkinan dicuri dari pabrik, adalah barang yang paling banyak ditawarkan

Obat-obat yang disebut bisa menyembuhkan Corona jenis baru, termasuk anti malaria yang memang sudah lama tersedia secara resmi di pasaran, yang sekarang disebut-sebut bisa juga untuk menyembuhkan mereka yang terkena COVID-19.

Salah satu obat yang ditawarkan harganya sekitar AU$25 ribu (sekitar Rp250 juta).

"Di pasar gelap ini akan ada saja orang yang mau membeli, kalau dikatakan obat ini sedang menjalani uji klinis," kata Profesor Broadhurst.Dari sekitar 20 situs gelap di internet, tiga diantaranya menjual 90 persen produk-produk berkenaan dengan Virus Corona COVID-19.

 

Pemilik Situs Gelap Khawatir

[Fimela] ilustrasi obat corona
ilustrasi obat corona | pexels.com/@edward-jenner

Profesor Broadhurst mengatakan banyak pemilik situs gelap khawatir penjualan barang-barang terkait Virus Corona COVID-19 akan membuat pihak berwenang mengetahui dan menyelidiki kegiatan mereka.

Situs gelap di internet ini biasanya mengacu pada situs yang menjual barang-barang ilegal seperti narkoba atau teknologi curian.

Penjual dan pembeli menggunakan identitas yang bisa disamarkan, sehingga data pembeli tidak diketahui polisi.

Kebanyakan penjual ini berada di Amerika Serikat dan Eropa.

Menurut Profesor Broadhurst, yang dikhawatirkan saat ini adalah banyak plasma darah dari mereka yang sudah sembuh dari COVID-19 dijual di pasar gelap internet tersebut.

Terapi plasma darah dari pasien yang sembuh COVID-19 sudah dibicarakan sebagai salah satu pengobatan, meski belum terbukti kebenaran khasiatnya secara resmi.

 

Dokter Sarankan Tak Beli Obat di Internet

Ilustrasi obat
Ilustrasi obat (Foto: Unsplash.com/Freestocks)

Kepada SBS, Dr Harry Nespolon, Presiden Ikatan Dokter Umum Australia mendesak agar warga tidak membeli terapi atau vaksin apapun lewat internet.

"Satu hal yang kita tahu bisa mencegah COVID-19 sekarang ini adalah social distancing, serta kegiatan pencegahan seperti mencuci tangan dengan teratur, kalau batuk ditutup mulut dengan siku bagian dalam anda.""Kalau soal pengobatan, kita tahu tahu banyak obat yang berasal dari sumber tidak resmi adalah obat palsu. Dan sampai hari ini, tidak semua berkhasiat."

"Menyangkut vaksin, kita tahu saat ini tidak ada vaksin untuk mencegah COVID-19, dan bilapun ada, vaksin itu harus disimpan di lemari es, jadi kalau harus dikirimkan ke pos, bila pun memang ada, karena lewat pos vaksin itu jadi tidak efektif." kata Dr Nepolson.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya