Inggris Bakal Blokir Visa Negara Penolak Warga yang Dideportasi

Saat ini Inggris melaporkan lebih dari 10.000 WNA yang memiliki catatan kriminal, dan 42.000 pencari suaka yang ditolak, masih menunggu deportasi.

diperbarui 09 Jul 2021, 07:30 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2021, 07:30 WIB
Kemunculan Pertama PM Inggris
PM Inggris, Boris Johnson selesai memberikan pernyataan pada hari pertamanya kembali bekerja setelah pulih dari virus Corona di Downing Street, London, Senin (27/4/2020). Ini menjadi kemunculan pertama PM Johnson di depan publik setelah hampir sebulan terinfeksi COVID-19. (AP/Frank Augstein)

, London - Inggris bakal memblokir negara-negara yang menolak deportasi. Menurut aturan, nantinya negara-negara yang menolak menerima kembali pencari suaka yang dideportasi dari Inggris terancam dikenai pembatalan visa kunjungan.

Klausul itu tercantum dalam RUU Keimigrasian yang diusulkan oleh pemerintah di London. Jika diloloskan, klausul tersebut terutama akan berdampak terhadap Iran, Irak, Eritrea dan Sudan yang sejauh ini menolak perjanjian ekstradisi dan deportasi dengan Inggris, lapor harian The Times.

Dalam rancangan legislasi yang dipublikasikan Selasa 7 Juli 2021, Menteri Dalam Negeri Priti Patel akan berwenang menunda atau membatalkan permohonan visa dari negara yang "tidak mau bekerja sama dalam pemulangan warga negaranya yang tidak memiliki izin tinggal di Inggris."

Klausul itu juga memberikan kekuasaan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menerapkan syarat keuangan yang lebih ketat, atau biaya visa yang lebih tinggi, terhadap warga dari negara yang tidak kooperatif, demikian dikutip dari laman DW Indonesia, Jumat (8/7/2021).

Saat ini Inggris melaporkan lebih dari 10.000 WNA yang memiliki catatan kriminal, dan 42.000 pencari suaka yang ditolak, masih menunggu deportasi.

Seperti dilansir The Guardian, Patel mengatakan RUU Kewarganegaraan dan Perbatasan membidik "perombakan terbesar dalam sistem keimigrasian” di Inggris. RUU ini dianggap sebagai perwujudan janji kampanye untuk membatasi arus imigrasi pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Mandagri Patel meyakini RUU tersebut bersifat "adil, tapi tegas,” sembari menambahkan Inggris akan "menyambut pengungsi yang tiba lewat jalur legal, dengan mencegah penyalahgunaan sistem keimigrasian, dan menindak kedatangan ilegal."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Sinisme Politik di Atas Nasib Pengungsi

Inggris Rencanakan Lepas Masker
Pembelanja yang mengenakan masker berjalan di sepanjang Oxford Street di pusat kota London, Senin (5/7/2021). PM Inggris Boris Johnson berencana mencabut sebagian besar pembatasan wilayah selama pandemi Covid-19, termasuk penggunaan masker dan jaga jarak mulai 19 Juli. (DANIEL LEAL-OLIVAS/AFP)

Kemendagri di London melaporkan, hampir 6.000 pengungsi melintasi Selat Inggris selama enam bulan pertama 2021. Tren ini diyakini akan melampaui jumlah dari tahun lalu yang mencapai 8.417 orang.

RUU yang diusulkan oleh Kemendagri terutama melucuti status perlindungan bagi pencari suaka yang tiba secara ilegal. Mereka nantinya akan masuk dalam daftar deportasi, meski memiliki alasan yang sah untuk meminta perlindungan.

Sistem keimigrasian baru ini "akan mempersulit status pengungsi bagi mereka dengan klaim yang tidak bisa diverifikasi,” dan akan menjalankan "pemeriksaan usia secara detail”, antara lain lewat proses pemindaian tulang, untuk mencegah pria dewasa mengaku sebagai anak di bawah umur.

Pegiat HAM menjuliki RUU usulan Kemendagri itu UU anti-pengungsi. Lebih dari 250 organisasi pengungsi, termasuk Palang Merah, membentuk koalisi bersama untuk mendorong pendekatan yang lebih humanis dalam kebijakan keimigrasian.

Sebagian menilai langkah pemerintah menyiratkan sinisme politik demi kepentingan elektoral. "Bukannya mengompori mitos dan kebohongan seputar suaka dan migrasi, Kementerian Dalam Negeri seharusnya membangun rute yang aman bagi mereka yang melarikan diri dan kekerasan, dan ingin mencari perlindungan di sini,” tulis Amnesty International Inggris.

Michelle Pace, Guru Besar Studi Global di Roskilde University di Denmark dan peneliti di Chatham House, sebuah wadah pemikir Inggris mengatakan kepada New York Times, RUU tersebut hanya bernilai simbolis. "Dilihat dari sudut hukum, RUU ini tidak mungkin bisa diimplementasikan," katanya menambahkan.

Pace berdalih, setiap legislasi yang membenarkan deportasi terhadap pencari suaka akan melanggar Konvensi Pengungsi 1951 PBB yang turut ditandatangani oleh Inggris.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya