WHO Sebut Kasus COVID-19 Naik Secara Global, Pandemi Berubah tapi Belum Berakhir

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Jumlah kasus baru Virus Corona COVID-19 naik sebesar 18 persen pada minggu lalu. Lebih dari 4,1 juta kasus dilaporkan terjadi secara global.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jul 2022, 09:38 WIB
Diterbitkan 02 Jul 2022, 07:51 WIB
Ilustrasi gambar SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Corona COVID-19, diisolasi dari seorang pasien di AS. Diperoleh 27 Februari 2020 milik National Institutes of Health yang diambil dengan mikroskop elektron transmisi.(AFP/National Institutes Of Health)
Ilustrasi gambar SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Corona COVID-19, diisolasi dari seorang pasien di AS. Diperoleh 27 Februari 2020 milik National Institutes of Health yang diambil dengan mikroskop elektron transmisi.(AFP/National Institutes of Health)

Liputan6.com, Jakarta - Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kasus baru Virus Corona COVID-19 naik sebesar 18 persen pada minggu lalu. Lebih dari 4,1 juta kasus dilaporkan terjadi secara global.

Mengutip VOA Indonesia, Sabtu (2/7/2022), badan kesehatan PBB itu mengatakan dalam laporan mingguan terbaru tentang pandemi bahwa jumlah kematian di seluruh dunia tetap sama dengan minggu sebelumnya, yaitu sekitar 8.500. Kematian terkait COVID-19 naik di tiga wilayah, yaitu Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Amerika.

"Kenaikan mingguan terbesar dalam kasus baru COVID-19 sebanyak 47 persen terlihat di wilayah Timur Tengah, menurut laporan yang dirilis pada Rabu (29/6) malam. Penularan naik sekitar 32 persen di wilayah Eropa dan Asia Tenggara, dan sekitar 14 persen di Amerika," papar WHO.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan kasus meningkat di 110 negara, di mana peningkatan tersebut sebagian besar didorong oleh Varian Omicron BA.4 dan BA.5.

"Pandemi ini berubah, tetapi belum berakhir," kata Ghebreyesus pada minggu ini saat konferensi pers.

Tedros juga mengatakan kemampuan melacak evolusi genetik COVID-19 "terancam" karena negara-negara melonggarkan upaya pengawasan dan pengurutan genetik. Ia memperingatkan bahwa itu akan membuat lebih sulit untuk mengetahui varian baru yang muncul dan berpotensi berbahaya.

Dia menyerukan negara-negara untuk mengimunisasi populasi mereka yang paling rentan, termasuk petugas kesehatan dan orang usia lebih dari 60 tahun.

"Ratusan juta orang belum divaksinasi. Mereka berisiko terkena penyakit yang parah dan kematian," jelas Ghebreyesus 

Ia menambahkan, walaupun lebih dari 1,2 miliar vaksin COVID-19 telah diberikan secara global, tingkat imunisasi rata-rata di negara-negara miskin adalah sekitar 13 persen.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Pakar Sebut Penguatan Protokol Kesehatan Kunci Menuju Endemi COVID-19

Masker
Ilustrasi pemakaian masker. (dok. Unsplash/ Kobby Mendez)

Dalam proses transisi menuju endemi, kasus infeksi baru COVID-19 di Indonesia menunjukkan peningkatan. Saat ini, infeksi baru COVID-19 masih menunjukkan penambahan di angka 2.000-an per hari. Kemarin, Kamis, 30 Juni 2022, data menunjukkan kasus positif bertambah 2.248 orang.

Peningkatan jumlah kasus COVID-19 ini telah diprediksi seiring ditemukannya subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 di Tanah Air. Puncak kasus diperkirakan mencapai 20.000 hingga 25.000 kasus per hari dan terjadi pada pekan ketiga dan keempat Juli 2022.

"Setelahnya akan turun kembali," ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, pada 16 Juni 2022 di Bogor.

Penguatan protokol kesehatan menjadi salah satu kunci menuju endemi COVID-19, seperti disampaikan Dr dr Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K).

"Penguatan protokol kesehatan merupakan salah satu kunci menuju endemi, dengan demikian mari disiplin memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan," ujarnya, dilansir Antara.

Anggota Bidang Pengkajian Penyakit Menular PB IDI itu mengatakan, berbagai upaya penguatan juga perlu dilakukan guna mengendalikan kasus COVID-19 di Indonesia.

"Untuk menuju endemi, persiapannya adalah dengan menekan jumlah kasus terkonfirmasi positif. Salah satunya melalui vaksinasi, baik dosis primer dan juga dosis penguat atau booster," ujarnya.

Erlina mengatakan, pemerintah daerah pun perlu meningkatkan cakupan vaksinasi dosis penguat di wilayah masing-masing.

"Sosialisasi mengenai pentingnya vaksinasi harus terus dioptimalkan guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat," tuturnya.

Evaluasi berkala mengenai target vaksinasi di wilayah masing-masing pun perlu dilakukan pemerintah daerah.

"Dengan demikian dapat diketahui apakah target vaksinasi telah terlampaui, jika belum maka perlu menjadi prioritas utama sebagai salah satu kunci menuju endemi COVID-19," ujarnya.

  

Endemi Bukan Berarti COVID-19 Hilang

Pengguaan Masker
Ilustrasi orang yang sedang menggunakan masker. Credits: pexels.com by Polina Tankilevitch

Erlina juga kembali mengingatkan, status endemi bukan berarti COVID-19 sudah tidak ada. Dia mengatakan, penyakit akibat virus SARS-CoV-2 masih ada, tapi kondisinya sudah jauh lebih terkendali.

"Untuk itu tetap perlu menjalankan berbagai upaya kewaspadaan, strategi pencegahan, dan sistem pengendalian penularan yang tepat," katanya.

Erlina berharap, penguatan protokol kesehatan dan peningkatan cakupan vaksinasi bisa mendukung upaya transisi dari pandemi menuju endemi.

"Perlu terus meningkatkan cakupan vaksinasi COVID-19 hingga dosis penguat guna mendukung upaya transisi menuju endemi," ujarnya.

Terlebih penguatan protokol kesehatan dan peningkatan cakupan vaksinasi juga diperlukan untuk mengantisipasi penyebaran subvarian Omicron BA.4 dan BA.5, ucapnya.

Erlina pun menjelaskan perlunya tetap memakai masker jika berada di dalam ruangan, kendaraan umum, di tengah kerumunan atau jika sedang merasa sakit dan tidak enak badan.

"Selain itu perlu peningkatan surveilans genomik pada pasien COVID-19 bergejala sedang, berat, kritis atau meninggal," katanya. 

IDI Rekomendasikan Pakai Masker di Ruang Terbuka

IDI Rekomendasikan Penggunaan Kembali Masker di Ruang Terbuka Demi Waspadai BA.4 dan BA.5
Ilustrasi test PCR COVID-19. (Sumber foto: Pexels.com).

Kehadiran subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 di Tanah Air, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga meminta pemerintah mengkaji kembali aturan boleh melepas masker di ruang terbuka. Pasalnya, subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 memliki karakteristik mudah menular.

"Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 jadi pengingat masih perlunya memperkuat protokol kesehatan," kata kata Ketua Bidang Penanganan Penyakit Menular PB IDI, Agus Dwi Susanto dalam konferensi pers pada Selasa, 21 Juni 2022 di Kantor Pusat PB IDI Jakarta Pusat.

"Kami merekomendasikan untuk dikaji kembali jika diperlukan," kata Agus.

Penggunaan masker di tempat terbuka disertai dengan penerapan protokol kesehatan yang lain merupakan bentuk kewaspadaan dalam menghadapi kasus COVID-19 yang tengah naik beberapa hari terakhir ini. Apalagi bila melihat data di berbagai belahan dunia, BA.4 dan BA.5 menyebabkan kenaikan kasus. Sehingga perlu respons cepat untuk mencegah penyebarannya.

“Kami meminta kerja sama semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat untuk tetap perlu menjalankan berbagai upaya kewaspadaan strategi pencegahan dan sistem pengendalian penularan yang kuat. Penanganan ini tidak bisa dilakukan oleh tenaga medis saja, namun semua pihak secara bersamaan,” kata Ketua PB IDI Adib Khumaidi di kesempatan yang sama.

Delirium, Gejala COVID-19, Gejala Baru COVID-19, Gejala Covid, Gejala Baru Covid
Infografis yang menyebut bahwa delirium merupakan gejala baru dari COVID-19, penyakit yang disebabkan Virus Corona SARS-CoV-2, tersebar di media sosial dan grup WhatsApp. (Sumber: Istimewa)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya