Liputan6.com, Tokyo - Jalan Uni Afrika untuk masuk ke G20 semakin mulus. Terkini, mereka mendapatkan dukungan dari Jepang.Â
Sebelumnya, Amerika Serikat, Prancis, dan Uni Eropa juga telah memberikan dukungan.Â
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan Kyodo, Senin (19/12/2022), Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida memberikan dukungan supaya Uni Afrika menjadi anggota permanen G20. Pandangan itu ia berikan ketika bicara dengan Presiden Senegal Macky Sall di Tokyo.
Senegal merupakan pemimpin Uni Afrika tahun ini.
Dukungan PM Kishida muncul setelah pekan lalu Presiden AS Joe Biden memberi dukungan serupa.
"Dalam rangka memperluas peran negara-negara Afrika di komunitas internasional dalam beberapa tahun terakhir, Jepang fokus untuk memperkuat hubungan-hubungan dengan Afrika," ujar PM Kishida dalam konferensi pers bersama Presiden Sall.
Komentar PM Kishida disambut positif oleh Presiden Senegal.
Selain G20, kedua negara sepakat untuk bekerja sama di sektor proyek pengembangan gas alam di Senegal, serta mendorong lebih banyak perusahaan Jepang yang berinvestasi di negara Afrika Barat tersebut.
PM Kishida turut berjanji akan menawarkan pinjaman berbunga rendah senilai 10 miliar yen ke sektor edukasi di Senegal, serta bantuan grant hingga 15,42 miliar yen untuk membantu produk perikanan Senegal.
Pada November 2022, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mendukung bergabungnya Uni Afrika ke G20. Macron mengucapkan itu ketika menghadiri G20 Summit di Bali.
Senada, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen memberikan dukungannya untuk Uni Afrika.
"Saya mendukung penuh ambisi Afrika untuk memainkan peran yang lebih kuat di sistem multilateral, termasuk pada G20 dan konferensi-konferensi iklim COP," ujar Presiden von der Leyen usai bertemu Ketua Komisi Uni Afrika, Moussa Faki. Â
Jadi Presiden G20 pada 2023, India Bakal Fokus soal Isu Perubahan Iklim
Kepresidenan India di G20 akan mencanangkan agenda iklim yang tergolong ambisius, klaim pakar. Melaluinya, pemerintah di New Delhi ingin menjembatani kepentingan negara industri dan berkembang, serta membuktikan keseriusan India dalam menanggulangi dampak krisis iklim.
Dilansir DW Indonesia, Minggu (4/12), G20 beranggotakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. India mengambilalih jabatan kepresidenan dari Indonesia yang rampung pada akhir 2022.
Pemerintah India "akan menitikberatkan fokus pada bagaimana merespons tantangan masa depan oleh krisis iklim," kata Samir Saran, Direktur Yayasan Observer Research (ORF), lembaga wadah pemikir di New Delhi. Menurut dia, pemerintah ingin memastikan terjaminnya aliran dana bantuan dari negara kaya ke negara berkembang untuk memitigasi atau membiayai dampak bencana iklim.
Dia juga menambahkan pemerintah berniat mendorong program "Mission Life" yang mengkampanyekan gaya hidup berkelanjutan di dalam negeri. Proyek ini dicanangkan Perdana Menteri Narendra Modi, usai secara simbolik menerima status kepresidenan dari Indonesia di Bali, November silam.
Dia meyakini, kebijakan tersebut mampu menyumbangkan "kontribusi besar" untuk mempopulerkan gaya hidup berkelanjutan menjadi "sebuah gerakan massal."
Advertisement
Keseriusan India
Belakangan pemerintah di New Delhi giat menunjukkan keseriusannya menanggulangi krisis iklim.
Belum lama ini, India mengumumkan target domestik yang lebih ambisius ketimbang komitmen yang dibuat pada KTT Iklim Paris 2015. Namun begitu, analis menilai ambisi iklim oleh banyak negara tidak selaras dengan sasaran pengurangan kenaikan temperatur, termasuk juga di India.
Karena ketika sejumlah industri besar India sudah siap berpindah ke energi terbarukan, pemerintah justru berniat menginvestasikan dana senilai USD 33 miliar untuk membangun pembangkit batu bara dalam empat tahun ke depan.Â
Apa yang Negara Berkembang Butuhkan?
Pada KTT Iklim di Sharm el-Sheikh, Mesir, November silam, India yang tercatat sebagai produsen gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, mengaku tidak mampu mencapai sasaran iklim tanpa bantuan dana dari negara kaya untuk menukar sumber energi.
Klaim tersebut sudah sering dibantah oleh negara-negara industri maju.
Navroz Dubash, ilmuwan iklim di PBB, mengatakan tantangan terbesar bagi "negara-negara berkembang adalah membiayai tuntutan pembangunan melalui cara-cara yang rendah emisi," kata dia.
Menurutnya sebagai presiden G20, India berpeluang "untuk menjelaskan apa yang dibutuhkan bagi negara-negara berkembang untuk mencatat pertumbuhan tanpa memboroskan anggaran karbon yang ada."
Saat ini, masyarakat global berupaya membatasi kenaikan rata-rata suhu Bumi menjadi maksimal 1,5 derajat Celcius sebelum 2030 mendatang.Â
"Negara maju membuktikan bahwa kebijakan industri yang berkelanjutan menuntut kucuran dana negara yang solid," kata Navroz.
Sejumlah analis mengatakan dana yang dibutuhkan buat membantu negara berkembang untuk mengurangi emisi adalah sebesar USD 2 triliun hingga 2030. Separuh dana itu harus diambil dari kas negara, sisanya datang dari donor eksternal seperti negara maju atau bank pembangunan multilateral.
Advertisement