Liputan6.com, Tokyo - Angka kelahiran bayi di Jepang pada tahun 2022 mencatat angka terendah sejak 1899 ketika statistik kelahiran pertama dibuat di negara tersebut. Angka kelahiran yang merosot ini terjadi sejak tujuh tahun terakhir.
Dilaporkan Kyodo, Selasa (20/12/2022), angka kelahiran pada 2020 tercatat 811 ribu. Kementerian kesehatan di Jepang menyorot pandemi COVID-19 sebagai faktor yang membuat wanita menunda kehamilan.
Advertisement
Baca Juga
Penundaan itu terkait masalah ekonomi dan kesehatan. Apabila tren kelahiran tidak meningkat, maka kelahiran di Jepang bisa menurun hingga 770 ribu.
Angka kelahiran yang menurun ini juga lebih cepat dari yang pemerintah perkirakan. National Institute of Population and Social Security Research memprediksi pada 2017 bahwa kelahiran adalah sekitar 860 ribu di Jepang dan baru akan turun di bawah 800 ribu pada 2030 mendatang.
Makin sedikitnya angka kelahiran di Jepang bisa berdampak pada pendanaan program jaminan sosial, seperti pensiun dan jaminan kesehatan untuk lansia.
Selain COVID-19, para generasi muda yang berusia 20 dan 30 tahunan menyebut memiliki kekhawatiran yang lebih besar ketimbang pernikahan dan kehamilan. Dua hal yang lebih disorot adalah keamanan pekerjaan dan prospek pendapatan.
Mereka lantas kurang optimis untuk membangun keluarga ketimbang sebelum COVID-19.
Berdasarkan data Bank Dunia, ada 74,1 juta orang Jepang berusia antara 15 hingga 64 tahun per 2021. Angka itu terus menurun ketimbang tahun 1990-an ketika ada 86-88 juta orang populasi usia 15-64 tahun.
Total populasi di Jepang saat ini ada 125,7 juta.
Ogah Menikah di Masa Pandemi COVID-19
Sebelumnya dilaporkan, jumlah orang Jepang yang menikah di tahun 2022 diprediki berkurang karena dampak COVID-19. Faktor-faktor yang menjadi sorotan adalah kurang waktu sosialisasi dan urusan keuangan.
Dilansir Kyodo, Selasa (9/8), jumlah pernikahan tahun ini diperkirakan akan 150 ribu lebih sedikit dalam tiga tahun terakhir. Hal ini bisa membuat jumlah bayi yang lahir berkurang 234 ribu jika tingkat pernikahan tidak pulih.
Temuan itu berasal dari studi oleh Asako Chiba, postdoctoral fellow di Tokyo Foundation for Policy Research dan Taisuke Nakata, associate professor di University of Tokyo.
Stres finansial yang bertambah disebut berpengaruh pada rendahnya angka pernikahan di Jepang.
Mereka menyebut angka pernikahan di tahun 2020 adalah sekitar 526 ribu, sekitar 50 ribu lebih rendah dari proyeksi. Sementara, angka tahun 2021 adalah 501 ribu. Angka itu 63 ribu lebih rendah dari perkiraan.
Turunnya angka pernikahan tersebut diprediksi berlanjut di 2022, meski ada tanda-tanda pemulihan. Total pernikahan diperkirakan mencapai 515 ribu, sekitar 38 ribu lebih rendah dari perkiraan.
"Dampak sosial dan ekonomi dari virus corona butuh waktu untuk bermanifestasi," ujar Chiba. "Pembuat kebijakan perlu mengenali krisis yang secara tegas mendekat."
Angka pernikahan tahunan di Jepang terus turun sejak memuncak pada 1 juta pernikahan di awal 1970-an. Angka kelahiran juga terus menurun. Pada 2021, angka kelahiran baru adalah 810 ribu dibanding 2 juta kelahiran pada tahun 1973.
Advertisement
China Bujuk Warga Agar Punya Anak
Akses kredit perumahan dengan bunga rendah. Penitipan untuk anak usia 2 tahun, tidak hanya usia 3 tahun ke atas. Kerja remote. Jam kerja yang fleksibel.
Sederet hal tersebut bukanlah tawaran tunjangan bagi pelamar kerja melainkan tawaran pemerintah China bagi calon orang tua agar mau memiliki banyak anak.
Data statistik menunjukkan tingkat kelahiran di negara itu terus turun meskipun pemerintah telah mendorong para pasangan untuk memiliki tiga anak sejak 2021 lalu, dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (24/10).
Pergeseran itu membuat pemerintah mengubah strateginya dengan merangkul "dividen bakat." Pemerintah kini berfokus pada lebih sedikit orang muda untuk dididik terampil dalam bidang yang dibutuhkan. Pemerintah China meninggalkan startegi dahulu yang mengandalkan "dividen demografis," sebuah kondisi di mana jumlah pekerja muda terus muncul dan tampaknya tidak akan habis.
Peneliti di Institute for Population and Labor Economics, Chinese Academy of Social Sciences, Niu Jianlin, pekan lalu mengatakan kepada China Discipline Inspection and Supervision News yang berafiliasi dengan pemerintah bahwa, "Menurut laporan Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis China, pendidikan, sains dan teknologi serta bakat adalah dukungan dasar dan strategis untuk membangun negara sosialis modern secara menyeluruh.… Ini menunjukkan arah bagi kita untuk lebih meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan transisi dari " dividen demografis " menjadi "dividen bakat".
Menurut informasi yang dirilis pada bulan ini dari "Buku Tahunan Statistik China 2022" yang diterbitkan Biro Statistik Nasional China, 13 dari 31 provinsi dan kota-kota di negara itu yang secara administratif setara dengan provinsi, mengalami pertumbuhan populasi alami negatif pada 2021. Pada 2020, tercatat 11 pusat pertumbuhan negatif di kota-kota dan provinsi di China.
Jumlah total kelahiran di China pada 2021 adalah 10,62 juta, rekor terendah dalam beberapa tahun ini, menurut biro statistik yang dirilis pada Januari. Peningkatan bersih populasi sebanyak 480.000 orang yang tercatat di negara berpenduduk 1,4 miliar adalah yang terendah sejak 1962 ketika China mulai mencatat rekor ini.
Anak Muda Korea Selatan Tak Buru-Buru Menikah
Enam dari 10 orang Korea Selatan berusia 20-an dan 30-an berpikir bahwa menikah bukan lagi suatu keharusan. Faktor utama lainnya adalah keterbatasan uang yang mempengaruhi keputusan generasi muda untuk menghindari pernikahan.
Mengutip dari The Korean Times, Kamis (17/11/2022), pernyataan tersebut merupakan hasil survei sosial terbaru Statistics Korea, yang diumumkan pada Rabu, 15 November 2022. Separuh dari responden dari segala usia mengatakan bahwa menurut mereka menikah adalah suatu keharusan, di mana persentasenya 1,2 poin lebih rendah dari dua tahun lalu.
Angka tersebut ternyata lebih rendah lagi di antara mereka yang berusia 20-an dan 30-an. Hanya sebanyak 35,1 persen dari generasi muda Korea berusia 20-an mengatakan setuju bahwa menikah adalah suatu keharusan, dan 40,6 persen dari mereka yang berusia 30-an juga mengatakan hal yang senada.
Adapun 53,5 persen responden berusia 20-an dan 52,8 persen dari mereka yang berusia 30-an menjawab tidak masalah apakah mereka menikah atau tidak. Selanjutnya 6,4 persen dari mereka yang berusia 20-an dan 3,5 persen dari mereka yang berusia 30-an mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah menikah.
Dalam kasus generasi muda Korea yang berusia antara 13 hingga 19 tahun, hanya 29,1 persen yang menjawab bahwa menikah adalah suatu keharusan. Jumlah tersebut meningkat seiring bertambahnya usia responden, karena 42,3 persen dari mereka yang berusia 40-an dan 52,8 persen dari mereka yang berusia 50-an mengatakan hal yang sama.
Advertisement