Liputan6.com, Washington D.C - Sejarah buruk ditorehkan oleh Donald Trump untuk Amerika Serikat (AS), hari ini dua tahun lalu. Presiden AS ke-45 itu dimakzulkan untuk kedua kalinya.
Pemakzulan itu menjadikan Trump sebagai presiden pertama dalam sejarah AS, yang dimakzulkan sebanyak dua kali.
Baca Juga
5 November 2021: Insiden Berdesakan Mematikan di Festival Astroworld Rapper Travis Scott, 10 Orang Tewas
4 November 1993: Pesawat Boeing 747-400 China Airlines Tergelincir ke Pelabuhan Victoria Hong Kong Saat Mendarat
3 November 1918: Pemberontakan Kiel Picu Kaisar Jerman Turun Takhta dan Lahirnya Republik Weimar
Saat mengumumkan pemakzulan Presiden Donald Trump pada 13 Januari 2021, Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi berpenampilan nyaris sama dengan apa yang ia kenakan sekitar 13 bulan lalu.
Advertisement
Saat itu, pada Desember 2019, dalam upaya pemakzulan pertama Donald Trump, Pelosi juga mengenakan setelan serba hitam dengan kalung melingkar di leher.
Hal yang membedakan hanya dua. Minus hiasan bros, dan kini menggunakan masker lantaran pandemi COVID-19.
Tampilan Pelosi di hari pemakzulan Donald Trump yang kedua kali dinilai banyak orang sebagai bentuk napak tilas. Penampilannya mencuri perhatian lantaran mengenakan setelan yang disebut sebagai "pakaian pemakaman" terbaiknya.
"Trump a clear and present danger," kata Pelosi dengan tegas saat itu -- yang berarti karena Trump, ancaman nyata ada di depan mata.
DPR Amerika Serikat memutuskan untuk memakzulkan Presiden Donald Trump, atas hasutan pemberontakan dalam kerusuhan yang terjadi di gedung Capitol Hill pekan sebelumnya, 6 Januari.
Dikutip dari BBC, 10 anggota Partai Republik memihak Demokrat untuk pemakzulan Donald Trump dengan hitungan suara 232-197.
DPR yang saat itu dikendalikan Demokrat, melakukan pemungutan suara pada Rabu 13 Januari waktu setempat, setelah terjadi perdebatan sengit yang berlangsung selama beberapa jam ketika pasukan Garda Nasional bersenjata mengawasi di dalam dan di luar Capitol Hill.
Biro Investigasi Federal AS (FBI) juga telah memperingatkan kemungkinan adanya protes bersenjata yang direncanakan di Washington D.C, termasuk semua, 50 ibu kota negara bagian menjelang pelantikan Joe Biden sebagai presiden AS pada 20 Januari mendatang
Pesan Damai Donald Trump
Beberapa waktu setelah pemungutan suara di Kongres, Donald Trump menyampaikan dalam sebuah video yang dirilis Gedung Putih bahwa ia meminta para pendukungnya untuk tetap damai. Namun, Presiden AS ke-45 tersebut tidak menyinggung pemakzulannya.
"Kekerasan dan vandalisme tidak memiliki tempat di negara kita... Tidak ada pendukung saya yang akan mendukung kekerasan politik," kata Trump.
Video pernyataan itu berfokus pada seruan untuk tenang menyusul kericuhan di Gedung Capitol Hill, yang dilakukan oleh massa pendukungnya.
"Tidak ada pendukung saya yang mendukung kekerasan politik. Tidak ada pendukung saya yang melanggar penegakan hukum atau bendera negara kita," kata Trump, seperti dikutip dari CNN.
"Sekarang saya meminta semuanya yang percaya pada tujuan kita agar menurunkan ketegangan, dan membantu menenangkan serta membagikan perdamaian di negara kita," lanjutnya.
Kemudian, dalam akhir video, Trump menuding adanya "serangan terhadap kebebasan berpendapat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dalam beberapa hari terakhir".
Trump juga menuding adanya "upaya sensor dan mendaftarhitamkan sejumlah orang yang (menurutnya) salah dan membahayakan".
"Yang kita butuhkan sekarang adalah mendengarkan satu sama lain, bukan untuk membungkam satu sama lain," ujar Trump.
Menanggapi pidatonya pada 6 Januari di Washington, Kongres menuduh Donald Trump menghasut penyerbuan di gedung Capitol Hill.
Trump dianggap mendesak para pendukungnya untuk "secara damai dan patriotik" membuat suara mereka didengar, tetapi juga untuk "berjuang sekuat tenaga" melawan hasil pemilihan yang diklaim telah dicuri.
Menyusul pernyataan Trump, para pendukungnya mendatangi Capitol, memaksa anggota parlemen untuk menangguhkan sertifikasi hasil pemilu.
Advertisement
Pasal Pemakzulan
Dalam pasal pemakzulan, Trump dikatakan "berulang kali mengeluarkan pernyataan tidak benar yang menyatakan bahwa terjadi penipuan dalam hasil pilpres dan hasilnya tidak boleh diterima".
Pasal pemakzulan itu juga menyebutkan bahwa ia mengulangi klaim dan "dengan sengaja membuat pernyataan kepada masyarakat luas yang mendorong dan diperkirakan mengakibatkan tindakan-tindakan tidak sesuai hukum di Capitol", yang berujung pada kekerasan dan hilangnya nyawa.
"Presiden Trump sangat membahayakan keamanan Amerika Serikat dan lembaga-lembaga pemerintahannya, mengancam integritas sistem demokrasi, mengganggu transisi kekuasaan secara damai, dan membahayakan cabang pemerintahan yang setara," bunyi pasal pemakzulan tersebut.
Kata Pengamat
Pengamat dalam negeri turut menyoroti kasus yang tengah jadi pemberitaan di Amerika Serikat.
Dalam laporan media lokal negara bagian Virginia AS, NBC29, Direktur Studi Kepresidenan di UVA Miller Center of Public Affairs, Barbara Perry berpendapat bahwa pemakzulan terhadap Trump kali ini berfokus pada apa yang terjadi padanya setelah meninggalkan Gedung Putih.
"Dia akan dilarang mencalonkan diri lagi (pada Pilpres 2024). Sementara yang lainnya adalah bahwa pemakzulan tidak bisa diampuni," jelas Perry, dikutip dari NBC29.
"(Dampak pemakzulan) yang lainnya adalah hukuman tidak menerima pensiun, dan mungkin menerima jaminan keamanan, dan hal lainnya," sebut Perry.
"Jadi dalam beberapa hal, (pemakzulan itu) bukan tentang perannya sebagai presiden, melainkan bagaimana semua keuntungan yang didapat dari menjadi presiden Amerika Serikat bisa ditarik," tambah Perry.
Profesor Sejarah, Hukum, dan Kehormatan di Cedarville University, Dr. Marc Clauson melihat keputusan pemakzulan sebagai hal yang berbeda, bagaimana langkah terebut sebagai hal politik, alih-alih dari faktor hukum.
"Pemakzulan terhadap Trump berbeda, itu politik, bukan hukum. Itu benar-benar proses yang berlarut-larut," kata Clauson, seperti dikutip dari laporan media lokal AS, ABC 6.
"Sepertinya Partai Republik telah terpecah dan itu adalah hal yang cukup signifikan. Partai Demokrat melihat perpecahan antara sayap kiri yang relatif moderat. Tapi, Partai Republik relatif kohesif, sampai belum lama ini dan ini baru saja terjadi. Semacam merobek tabir tepat di tengah menurut saya," sebut Clauson.
Sementara itu, asisten profesor Ilmu Politik dan Pemerintahan di Ohio Wesleyan University, Dr. Brianna Mack meyakini Presiden terpilih AS Joe Biden kemungkinan akan berfokus pada persatuan, tetapi perlu membangun kembali kepercayaan dan keamanan di Capitol.
"Sesuatu harus dilakukan, karena sekarang fondasi telah disentuh dan seseorang harus melakukan sesuatu untuk memastikan dan meredakan kekhawatiran dan ketakutan (pascakerusuhan di Capitol Hill)," kata Mack.
Pencopotan Jabatan Presiden AS?
Lalu, mungkinkan Trump dicopot dari jabatannya?
Mayoritas senat sudah cukup untuk melakukan Pemakzulan Donald Trump. Tetapi untuk membebas tugaskannya, ia kemudian harus dihukum atas dakwaan tersebut oleh Senat, di mana dua pertiga mayoritas diperlukan.
Meskipun persidangan bisa dimulai setelah masa jabatannya berakhir, tetapi jika ia dihukum, Trump bisa dilarang untuk memegang jabatan publik lagi.
DPR AS dikuasai oleh Partai Demokrat yang ingin Trump lengser. Namun, ada 10 anggota Partai Republik yang ikut mendukung pemakzulan yang menilai Trump berbahaya jika dibiarkan hingga pelantikan Biden pada 20 Januari mendatang.
"Dia harus pergi, ia jelas sangat bahaya dan nyata bagi negara yang kita cintai," ujar Ketua DPR Nancy Pelosi yang gagal melengserkan Trump pada 2019.
Donald Trump adalah satu-satunya presiden AS yang dimakzulan dua kali di era modern. Pemakzulannya ini didukung oleh Partai Demokrat dan beberapa anggota Partai Republik.
Sebelumnya, kedua partai juga pernah kompak saat memakzulkan Presiden Bill Clinton akibat skandal seks di dalam Gedung Putih.
Namun, mayoritas anggota Kongres dari Partai Republik masih mendukung Trump, meski ada beberapa yang mengecam Trump akibat kerusuhan Capitol Hill. Apabila Donald Trump dimakzulkan, ia tak bisa mencalonkan diri sebagai presiden pada 2024.
Donad Trump sendiri meminta agar tidak ada pemakzulan karena akan membuat rakyat kecewa. Selain itu, Trump membantah pidatonya memprovokasi massa.
"Saya pikir itu menyebabkan kemarahan besar kepada negara kita, dan itu menyebabkan kemarahan besar. Saya tidak ingin kekerasan," ujar Donald Trump di Texas, Selasa 12 Januari 2021.
Advertisement