3 Ancaman Terbesar Dunia 2023: Rusia, Xi Jinping, dan Disrupsi Teknologi

Rusia disebut akan beralih ke perang asimetris dalam melawan Barat untuk merusak dan melemahkan persatuan NATO dibanding menggunakan agresi terang-terangan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Feb 2023, 11:29 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2023, 11:09 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin
Presiden Rusia Vladimir Putin (Dok. AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Konsultan politik Eurasia Group merilis laporan tahunan yang memuat daftar ancaman dunia sepanjang 2023. Dalam laporan yang dipublikasikan pada 3 Januari 2023, Eurasia Group menempatkan Rusia, Presiden China Xi Jinping, dan disrupsi teknologi pada tiga peringkat teratasnya.

Dikutip dari laporan Eurasia Group yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS), pada Senin (6/2/2023), berikut ulasan selengkapnya:

1. Kenakalan Rusia

Dalam laporannya, Presiden Eurasia Group Ian Bremmer dan Ketua Eurasia Group Cliff Kupchan menyebutkan bahwa peran Rusia akan berubah dari pemain global menjadi negara paling berbahaya di dunia, yang menimbulkan ancaman keamanan serius bagi Eropa, AS, dan sekitarnya.

Hampir satu tahun sejak menginvasi Ukraina dan menjanjikan kemenangan cepat, Rusia dinilai cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan NATO dan berharap dapat memecah belah dukungan Barat terhadap Kyiv.

"Rusia tidak memiliki pilihan militer yang tersisa untuk memenangkan perang. Moskow akan terus menembaki kota-kota Ukraina dan infrastruktur penting, tetapi itu tidak akan memengaruhi keseimbangan militer di lapangan. Rusia juga dapat melancarkan serangan dengan pasukan yang baru dimobilisasi pada musim semi ini, tetapi kurangnya pelatihan dan pertahanan Ukraina yang kuat akan membatasi keefektifan serangan tersebut," ungkap laporan Eurasia.

Saat ini, Rusia, memiliki sedikit pengaruh yang tersisa di AS atau Eropa. Sekalipun memangkas pasokan aliran gas yang tersisa ke Eropa akan meningkatkan dorongan publik Eropa untuk negosiasi dengan Rusia, namun hal tersebut tidak akan memicu pembatalan sanksi Barat atau melemahkan dukungan militer mereka untuk Ukraina.

Bagaimanapun, Rusia dinilai tidak akan mundur.

Setelah meningkatkan taruhan perang dengan memobilisasi ratusan ribu pasukan Rusia dan mencaplok empat wilayah Ukraina, Vladimir Putin tetap berada di bawah tekanan kuat untuk, setidaknya, mengendalikan sebagian besar wilayah tersebut: Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia.

"Tetapi Ukraina akan menyaksikan penarikan penuh Rusia dari semua wilayahnya, kemungkinan termasuk Krimea. Menambah tekanan, kemampuan militer Ukraina yang sekarang tangguh mungkin mengancam kemampuan Rusia untuk mempertahankan Krimea, yang merupakan garis merah Kremlin," sebut laporan Eurasia.

Dikalahkan di medan perang di Ukraina, sempoyongan oleh sanksi, kerugian akibat isolasi lebih lanjut dan pembalasan Barat, hingga tekanan domestik yang kuat untuk menunjukkan kekuatan, sebut Eurasia, akan membuat Rusia beralih ke perang asimetris melawan Barat untuk merusak dan melemahkan persatuan NATO, daripada menggunakan agresi terang-terangan yang bergantung pada kekuatan militer dan/atau ekonomi yang tidak lagi dimilikinya.

"Rusia akan semakin bertindak seperti sekutu terdekatnya yang tersisa sekarang, Iran. Sebelum kejatuhan Rusia, Iran telah menjadi negara nakal paling kuat di dunia, yang dengan sendirinya secara efektif 'dipisahkan' dari komunitas internasional. Oleh karena itu, Teheran telah lama mengejar kebijakan luar negeri revisionis di Timur Tengah melalui cara asimetris, termasuk spionase, serangan drone dan rudal, dukungan untuk terorisme, perang proksi, dan sejenisnya. Rusia juga akan mengintensifkan upayanya untuk mengacaukan AS dan Eropa, tetapi dengan kemampuan keamanan asimetris yang lebih besar daripada Iran, dan dengan persenjataan nuklir terbesar di dunia sebagai penutup akhir untuk mencegah pembalasan Barat," jelas Eurasia.

Dalam laporannya, Eurasia memprediksi bahwa Rusia akan memindahkan senjata nuklir taktis lebih dekat ke Ukraina; meningkatkan serangan dunia maya pada perusahaan dan pemerintah Barat; mengintensifkan ofensifnya terhadap pemilu di Barat dengan mendukung dan mendanai disinformasi dan ekstremisme; serta menimbulkan lebih banyak penderitaan bagi rakyat Ukraina dengan terus menghantam infrastruktur kritis negara itu.

"Moskow sejauh ini menghindari konflik dunia maya besar dengan AS karena takut akan kalah. Itu mungkin akan tetap terjadi pada tahun 2023," klaim laporan itu.

Meski demikian, perilaku nakal Rusia, menurut Eurasia ada hikmahnya.

"Sama seperti perilaku nakal Iran yang telah menciptakan keselarasan baru di antara negara-negara Teluk, AS, dan Israel, perilaku nakal Rusia akan menciptakan peluang berkelanjutan bagi G7 untuk memperkuat kerja sama di antara negara-negara demokrasi industri maju dan membangun kembali institusi untuk tatanan keamanan global yang lebih kuat. Rusia yang nakal mewakili krisis geopolitik tingkat tertinggi. Ini adalah ancaman terhadap keamanan global, sistem politik Barat, dunia maya, ruang angkasa, dan keamanan pangan… belum lagi setiap warga sipil Ukraina," ujar laporan tersebut.

2. Kekuasaan Tanpa Batas Presiden China Xi Jinping

Presiden China Xi Jinping.
Presiden China Xi Jinping. (Dok. AFP)

Kongres Partai Komunis China pada Oktober 2022, telah melanggengkan cengkeraman kekuasaan Xi Jinping yang tidak tertandingi sejak Mao Zedong. Dia berhasil mempertahankan posisi sebagai sekjen untuk kali ketiga.

Setelah menempatkan sekutu terdekatnya di Komite Tetap Politbiro, Xi Jinping hampir tidak terkekang dalam kemampuannya untuk mengejar agenda kebijakan statis dan nasionalisnya.

"Keputusan sewenang-wenang, volatilitas kebijakan, dan ketidakpastian yang meningkat akan menjadi endemik di China pada era Xi Jinping. Itu adalah tantangan global yang masif... mengingat realitas kediktatoran negara kapitalis yang belum pernah terjadi sebelumnya memiliki peran yang begitu besar dalam ekonomi global," sebut laporan Eurasia Group.

Eurasia Group menandai risiko pada tiga area terkait dengan kekuasaan tanpa batas Xi Jinping.

"Pertama, efek buruk dari pengambilan keputusan terpusat terkait kesehatan masyarakat. Beberapa minggu lalu, Xi Jinping mengakhiri kebijakan nol COVID-19 dengan sewenang-wenang, cara yang sama seperti saat dia menerapkannya lebih dari dua tahun lalu. Keputusannya yang cepat untuk mencabut semua pembatasan dan membiarkan virus menyebar tanpa terkendali meskipun tingkat vaksinasi lansia rendah, tanpa memperingatkan warga dan pemerintah daerah, dan tidak adanya persiapan yang memadai untuk mengatasi wabah memastikan bahwa lebih dari satu juta orang China akan meninggal," ungkap Eurasia Group.

"Jika jenis COVID-19 baru yang parah muncul, Xi Jinping membuatnya lebih mungkin menyebar luas di China dan sekitarnya. China tidak mungkin mengidentifikasi varian baru karena kurangnya pengujian dan pengurutan untuk mengenali penyakit yang lebih parah mengingat sistem kesehatan yang kewalahan dan membiarkan berita tentang varian yang lebih parah keluar mengingat rekam jejak Xi Jinping dalam hal transparansi. Dunia akan memiliki sedikit atau tidak ada waktu untuk bersiap menghadapi virus yang lebih mematikan."

Area kedua adalah ekonomi. "Perekonomian China dalam keadaan rapuh setelah dua tahun menerapkan kebijakan pengendalian COVID-19 yang keras. Kebijakan yang memaksa pengurangan utang dan anjloknya pembeli rumah serta sentimen pasar telah menghentikan pertumbuhan di sektor real estate, menguras pendapatan pemerintah daerah."

"Gagal bayar utang terancam menyebar ke sektor keuangan yang lebih luas. Sudah lama terjadi bahwa lebih banyak pertumbuhan PDB global berasal dari pasar yang lebih berisiko secara politik seiring dengan meluasnya jejak ekonomi China. Namun, pada tahun 2023, prospek China menjadi lebih penting, mengingat meningkatkan risiko resesi di tempat lain," jelas laporan Eurasia Group.

Pertumbuhan global yang melemah dan tantangan domestik yang semakin dalam telah menuntut pengelolaan ekonomi yang kompeten dari Beijing. Tetapi, kepemimpinan Xi Jinping disebut justru memunculkan keburaman dan ketidakpastian.

"Keputusan tiba-tiba China untuk menunda perilisan data ekonomi yang telah lama dijadwalkan selama Kongres Partai ke-20 merupakan pertanda buruk yang akan terjadi di pasar global. Minimal, sensitivitas pasar dan perusahaan yang meningkat terhadap suara tunggal Xi Jinping akan mengundang gejolak dalam menanggapi setiap sinyal yang disampaikannya, yang mengakibatkan penyesuaian harga risiko kredit yang pada gilirannya mendorong gagal bayar utang dan kebangkrutan. Beijing akan berjuang untuk mengelola tekanan-tekanan ini dalam lingkungan kekuasaan terpusat dan perdebatan yang mencekik."

Area risiko terakhir adalah kebijakan luar negeri. Afinitas pribadi Xi Jinping untuk Putin disebut akan memengaruhi seberapa dekat China bersedia untuk menyelaraskan diri dengan negara maju dan negara berkembang. Pada 4 Februari 2022, Xi Jinping telah mengumumkan persahabatan tanpa batas dengan Rusia, memberikan kredibilitas atas invasi ke Ukraina.

"Pandangan nasionalis dan gaya tegas Xi Jinping akan menggerakkan hubungan Beijing dengan dunia. Xi Jinping tidak mencari krisis jangka pendek, mengingat skala dan kesegeraan tantangan ekonomi di dalam negeri. Namun, diplomasi 'prajurit serigala' tetap akan meningkat saat para diplomat menyalurkan retorika berani Xi Jinping, seringkali dengan mengorbankan keterlibatan yang efektif," sebut laporan Eurasia Group.

3. Senjata Disrupsi Massal

Ilustrasi disrupsi teknologi.
Ilustrasi disrupsi teknologi. (Dok. Pixabay)

Ironi yang terjadi saat ini adalah AS tidak hanya menjadi pengekspor utama demokrasi, tapi juga pengekspor utama alat-alat yang merusak demokrasi melalui inovasi teknologi yang sebagian besar terjadi di sana.

"Kemajuan teknologi yang dihasilkan melalui kecerdasan buatan (AI) akan mengikis kepercayaan sosial, memberdayakan para demagog dan otoriter, serta mengganggu bisnis dan pasar," sebut Eurasia Group dalam laporannya.

"Tahun ini akan menjadi titik kritis bagi peran teknologi yang mengganggu di masyarakat. Bentuk baru AI, yang dikenal sebagai AI generatif, akan memungkinkan pengguna membuat gambar, video, dan teks yang realistis hanya dengan beberapa kalimat panduan. Model bahasa besar seperti GPT-3 dan GPT-4 yang akan segera dirilis akan dapat lulus uji Turing dengan andal — sebuah Rubicon untuk kemampuan mesin meniru kecerdasan manusia. Dan kemajuan dalam perangkat lunak deepfake, pengenalan wajah, dan sintesis suara akan membuat kendali atas keserupaan seseorang menjadi peninggalan masa lalu. Aplikasi yang ramah pengguna seperti ChatGPT dan Stable Diffusion akan memungkinkan siapa pun yang paham teknologi memanfaatkan kekuatan AI."

Menurut Eurasia Group, kemajuan-kemajuan teknologi tersebut mewakili perubahan dalam potensi AI untuk memanipulasi orang dan menabur kekacauan politik.

"Ketika hambatan untuk membuat konten tidak ada lagi, volume konten meningkat secara eksponensial, membuat sebagian besar orang tidak mungkin membedakan fakta dari fiksi... Disinformasi akan tumbuh subur, dan kepercayaan -dasar kohesi sosial, perdagangan, dan demokrasi yang sudah lemah- akan semakin terkikis," ungkap laporan Eurasia Group.

Terobosan dalam teknologi jelas akan memiliki efek politik dan ekonomi yang luas.

Demagog dan populis, sebut laporan Eurasia Group, akan mempersenjatai AI untuk keuntungan politik yang sempit dengan mengorbankan demokrasi dan masyarakat sipil. Kita telah melihat orang-orang seperti Donald Trump, Jair Bolsonaro dari Brasil, dan Viktor Orbán dari Hungaria memanfaatkan kekuatan media sosial dan disinformasi untuk memanipulasi para pemilih dan memenangkan pemilihan, tetapi kemajuan teknologi akan menciptakan keuntungan struktural bagi setiap pemimpin politik untuk menggunakan alat-alat ini.

"Aktor politik akan menggunakan terobosan AI untuk menciptakan pasukan berbiaya rendah berupa bot mirip manusia yang bertugas mengangkat kandidat tertentu, menjajakan teori konspirasi dan berita palsu, memicu polarisasi, memperburuk ekstremisme bahkan kekerasan," jelas Eurasia Group.

"Alat-alat (terobosan teknologi) ini juga akan menjadi hadiah bagi para otokrat yang bertekad merusak demokrasi di luar negeri dan membungkam perbedaan pendapat di dalam negeri. Dalam isu ini, Rusia dan China memimpin... Beijing yang sudah menggunakan sensor, teknologi seluler, dan pengenalan wajah untuk melacak pergerakan, aktivitas, dan komunikasi warganya akan menerapkan teknologi baru tidak hanya untuk memperketat pengawasan dan kontrol terhadap masyarakatnya sendiri, tetapi juga untuk menyebarkan propaganda di media sosial dan mengintimidasi komunitas berbahasa Tionghoa di luar negeri, termasuk di negara demokrasi Barat."

Infografis Perang Dunia Ketiga
Apakah perang dunia ketiga akan terjadi? (trie yas/liputan6.com)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya