Liputan6.com, Phnom Penh - Perdana Menteri Kamboja Hun Sen diprediksi menang besar di Pemilu Kamboja 2023. Pemilu itu dikritik kelompok oposisi karena Hun Sen dituduh menggunakan kekuasaannya untuk mengintimidasi lawan.
Hun Sen telah berkuasa di Kamboja sejak tahun 1985. Masa kekuasaan Hun Sen telah lebih lama dari Presiden RI Soeharto.
Baca Juga
Menurut laporan AP News, Minggu (23/7/2023), Hun Sen dipastikan akan menang besar di Pemilu Kamboja 2023 yang dinilai negatif negara-negara maju. Uni Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara Barat lainnya ogah mengirim observer karena pemilu Kamboja dianggap tidak memenuhi syarat bebas dan adil.
Advertisement
Lewat kemenangan ini, maka Hun Sen dapat berkuasa hingga 2028. Total kekuasaannya di Kamboja bisa menjadi 43 tahun.
Namun, ia ternyata bertekad memberikan kekuasaannya kepada anaknya sendiri. Hal itu juga sudah lama diprotes oleh kelompok oposisi di negara ASEAN tersebut.
Ucapan itu Hun Sen berikan ke media China, Phoenix TV.
"Saya berjalan di jalan yang benar untuk mengamankan stabilitas negara untuk para generasi muda," ujarnya ke Phoenix TV, seperti dilansir Radio Free Asia.
"Dalam tiga atau empat minggu, Hun Manet bisa menjadi perdana menteri," lanjutnya.
Juru bicara Partai Rakyat Kamboja, Sok Ey San, berkata bahwa pemerintahan yang baru akan diisi "90 persen darah baru". Namun, analis politik Kim Sok dari Finlandia menyebut kabinet generasi muda itu tetap akan dikendalikan oleh Hun Sen.
"Hun Sen tahu bahwa Hun Manet tidak bisa bekerja dengan para menteri sekarang, jadi ia mencopot menteri-menteri eksisting supaya putranya bisa dengan mudah mengendalikannya," ujar Kim Sok.
Oposisi Sebut Rezim Kamboja Mirip di Korea Utara
Pada Mei lalu, tokoh oposisi Kamboja, Sam Rainsy, sempat datng ke Indonesia. Kepada media, ia mengungkap fakta yang jarang dibahas di ASEAN, bahwa pemimpin Kamboja berkuasa selama hampir 40 tahun.
Sam Rainsy lantas khawatir bahwa Hun Sen akan melanjutkan kekuasaan hingga membangun dinasti yang tidak demokratis, seperti Korea Utara.
"Hun Sen sekarang berencana untuk digantikan oleh anak laki-lakinya sendiri. Ia ingin membuat dinasti politik, seperti di Korea Utara. Dan ia bilang, setelah anak laki-lakinya, maka cucu-cucunya yang akan menggantikan putranya," ujar Sam Rainsy dalam acara diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Jumat (19/5).
Sam Rainsy merupakan politikus Kamboja yang menjadi eksil sejak tahun 2015. Human Rights Watch (HRW) melaporkan pada 2022 bahwa pemerintah Hun Sen memang menarget pihak oposisi lewat pengadilan massal.
"Parahnya lagi, demi mengamankan dukungan dari orang-orang di kelompoknya, ia (Hun Sen) berjanji kepada anggota kelompoknya agar mereka digantikan oleh anaknya masing-masing. Jadi ini klan. Penerusan seperti klan. Feodalistik. Beberapa keluarga akan terus memerintah negara ini selamanya," lanjut Rainsy.
Politikus senior itu berkata orang-orang intelektual di Kamboja sudah sadar betapa "gilanya" kondisi di Kamboja.
Rainsy lantas meminta agar Indonesia tidak mengakui pemilu Kamboja pada Juli mendatang karena menuding badan pemilu negara itu tidak netral. Kendati demikian Indonesia yang masuk dalam ASEAN diketahui memiliki prinsip non-intervensi.
Perihal tersebut, Rainsy mengatakan sejatinya perlu ada perubahan, sebab ia yakin Kamboja akan lebih sensitif terhadap kritikan internasional.
Rainsy berkata pihak Myanmar memang lebih tertutup, sehingga lebih imun terhadap kritikan internasional. Tetapi, Kamboja butuh dukungan internasional untuk membangun proyek-proyek dan mendapat pendanaan.
Advertisement