Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Agung Israel melarang demonstrasi terhadap perang di Jalur Gaza. Keputusan ini berdampak kepada warga komunitas Arab yang ingin bersuara.
MA Israel mengakui bahwa demonstrasi merupakan hak warga, tetapi situasi saat ini disebut "kompleks".
Baca Juga
Israel Umumkan Wajib Militer 7.000 Orang Yahudi Ultra-Ortodoks, Akan Ikut Perang di Gaza dan Lebanon?
Hamas Kasih Syarat Ke Donald Trump untuk Gencatan Senjata Gaza, Perang Israel Vs Hamas Bakal Berakhir?
Kisah Malang Mazyouna di Gaza, Wajahnya Hancur oleh Roket Israel dan Dilarang Mendapat Perawatan
"Meski ada status tinggi yang diberikan kepada hak demonstrasi dan berkumpul, ada realita kompleks yang kita dapati yang mana berdampak pada keseimbangan-keseimbangan terhadap hal ini," ujar keputusan MA Israel, dikutip Middle East Monitor, Rabu (8/11/2023).
Advertisement
Petisi itu awalnya diserahkan oleh partai politik Hadash dan Adalah (lembaga hukum hak minoritas rab di Israel). Media Israel menyebut supaya demonstrasi diizinkan di kota-kota mayoritas Arab, yakni Sakhnin dan Umm Al-Fahm.
Polisi Israel lantas mengirimkan petisi juga ke Mahkamah Agung Israel bahwa demo-demo tersebut bisa membahayakan keamanan dan keselamatan publik.
MA menegaskan bahwa mereka setuju pada polisi bahwa demo yang terjadi bisa merepotkan polisi yang notabene dibutuhkan untuk menjaga area yang terancam rudal dari Lebanon.
Dua pekan lalu, Kepolisian Israel membubarkan paksa demonstrasi yang terjadi di kota Haifa. Peserta demo itu adalah orang Arab dan Yahudi.
Hingga kini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu masih menolak gencatan senjatan dengan Gaza, meski berbagai negara dan lembaga internasional telah menyerukan hal tersebut.
Israel Klaim Telah Mencapai Jantung Kota Gaza, Kembali Desak Warga Palestina Mengungsi ke Selatan
Sebelumnya dilaporkan, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengaku bahwa pasukannya beroperasi di jantung Kota Gaza dan memberikan tekanan besar pada Hamas. Militer Israel didukung tank hingga insinyur militer.
Gallant mengklaim bahwa militer Israel menghancurkan infrastruktur Hamas dan berhasil mengisolasi Yahya Sinwar, komandan Hamas yan menurut Israel ikut merencanakan serangan pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan setidaknya 1.400 orang- di bunkernya.
Operasi darat Israel telah berlangsung selama lebih dari sepekan disertai dengan serangan udara dahsyat, yang menurut otoritas kesehatan Gaza telah menewaskan 10.328 warga Palestina, di mana 4.237 di antaranya adalah anak-anak. Demikian dikutip The Guardian, Rabu (8/11).
Pada Selasa (7/11), seperti dilansir BBC, serangan udara Israel menewaskan sedikitnya 23 orang di Kota Rafah dan Khan Younis.
Media Palestina melaporkan pada Selasa bahwa setidaknya dua bangunan tempat tinggal di pusat Kota Deir al-Balah hancur akibat serangan udara Israel. Jumlah korban belum jelas. Kantor berita Palestina, Wafa, mengutip para saksi mengatakan bahwa puluhan orang tewas atau terluka dalam serangan itu.
Sementara itu sayap militer Hamas mengungkapkan pihaknya terus menembakkan roket ke kota-kota Israel. Tim BBC di Tel Aviv melaporkan ledakan keras di langit kota ketika sistem pertahanan udara Israel, Iron Dome, mencegat roket tersebut.
Juru bicara Hamas Ghazi Hamad pada Selasa membantah bahwa pasukan Israel meraih keuntungan militer signifikan atau bahwa mereka telah merangsek jauh ke Kota Gaza.
"Mereka tidak pernah memberikan kebenaran kepada masyarakat," tutur Hamad dikutip dari AP, seraya menambahkan bahwa banyak tentara Israel tewas pada Senin dan banyak pula tank hancur.
"Rakyat Palestina berjuang dan berperang melawan Israel, sampai kita mengakhiri pendudukannya."
Advertisement
Israel Kembali Desak Warga Gaza Mengungsi ke Selatan
Sementara serangan udaranya terus berlanjut, Israel mendesak warga Gaza mengungsi ke selatan demi keselamatan mereka sendiri. Namun, otoritas Gaza yang dikuasai Hamas pada Selasa seperti dilansir kantor berita Anadolu mengatakan bahwa sekitar 900.000 warga Palestina masih berada di Kota Gaza dan utara Gaza.
Populasi Kota Gaza dan sekitarnya menghadapi kondisi kehidupan yang sangat mengerikan akibat blokade Israel yang berlangsung sejak tahun 2006.
"Meskipun pembantaian yang dilakukan pendudukan terkonsentrasi di Kota Gaza dan Gaza utara dan adanya perang psikologis yang memaksa warga meninggalkan rumah mereka, pendudukan tidak mampu mencapai tujuannya untuk menggusur orang," kata pejabat otoritas Gaza Iyad al-Buzm.
"Jumlah pusat penampungan di kota-kota di Jalur Gaza telah mencapai 225, dengan 97 di antaranya berada di Kota Gaza dan Gaza Utara, menampung 311.000 pengungsi."
Al-Buzm juga menuturkan, "Pusat perlindungan di Kota Gaza dan Gaza Utara terletak di 87 sekolah, sembilan rumah sakit dan satu gereja di mana orang-orang mencari perlindungan untuk menghindari pengeboman tetapi juga masih menjadi sasaran."
Â
Ke Mana Warga Gaza Harus Pergi?
Mengenai kondisi kehidupan yang menantang, Al-Buzm mengatakan semua toko roti tidak dapat beroperasi karena serangan langsung Israel dan tidak tersedianya bahan bakar dan tepung, sehingga menimbulkan potensi bencana yang serius.
"Orang-orang terpaksa minum air yang terkontaminasi karena blokade Israel yang memutus pasokan air ke Kota Gaza dan Gaza Utara," tutur dia.
"Tidak ada bantuan yang sampai ke warga di Kota Gaza dan Gaza Utara selama 32 hari terakhir, dan tidak ada pasokan yang dikirim ke pusat penampungan atau daerah pemukiman."
Al-Buzm menegaskan bahwa jalur aman bagi pengungsi yang digembar-gemborkan Israel adalah sebuah kebohongan dan telah berubah menjadi koridor kematian menyusul serangan yang mereka lakukan.
"Kami memperingatkan bahwa pendudukan akan melakukan pembantaian dan tekanan psikologis untuk memaksa masyarakat Kota Gaza dan Gaza Utara meninggalkan rumah mereka. Ke mana mereka akan pergi?
Tidak ada tempat yang aman di Jalur Gaza dan wilayah selatan tidak dapat menampung semua orang yang dikepung."
Advertisement