Liputan6.com, Bangkok - Thailand kemungkinan akan mempertimbangkan untuk merelokasi ibu kotanya, Bangkok. Hal ini terjadi lantaran naiknya permukaan air laut. Demikian diungkapkan oleh pejabat senior di kantor perubahan iklim negara tersebut kepada AFP, pada Rabu (15/5/24).
Proyeksi secara konsisten menunjukkan bahwa dataran rendah Bangkok berisiko dibanjiri oleh lautan sebelum akhir abad ini.
Baca Juga
Pavich Kesavawong, Wakil Direktur Jenderal Departemen Perubahan Iklim dan Lingkungan, memperingatkan bahwa kota ini mungkin tidak dapat beradaptasi dengan dunia yang mengalami pemanasan global.
Advertisement
"Saya pikir suhu kita sudah melampaui 1,5 (derajat Celsius)," katanya seperti dilansir CNA, Kamis (16/5), mengacu pada peningkatan suhu global dibandingkan tingkat pra-industri.
"Sekarang kami harus kembali dan memikirkan adaptasi. Saya membayangkan Bangkok sudah terendam air, jika kita tetap berada dalam situasi (saat ini)," katanya.
Ia juga menyebut bahwa pemerintah kota Bangkok sedang menjajaki langkah-langkah yang mencakup pembangunan tanggul.
Namun, Pavich menyebut bahwa diskusi tersebut masih bersifat hipotetis dan masalahnya "sangat kompleks".
"Secara pribadi menurut saya itu pilihan yang baik, sehingga kita bisa memisahkan ibu kota, wilayah pemerintahan, dan wilayah usaha," ujarnya.
"Bangkok (akan) tetap menjadi ibu kota pemerintahan, tapi pindah lokasi untuk urusan bisnis."
Dampak Perubahan Iklim Makin Nyata
Thailand mengalami dampak perubahan iklim di berbagai sektor, mulai dari petani yang berjuang melawan panas dan kekeringan hingga bisnis pariwisata yang terkena dampak pemutihan karang dan polusi.
Pemerintah telah menutup beberapa taman nasional sebagai respons terhadap pemutihan karang baru-baru ini dan Pavich mengatakan penutupan lebih lanjut masih mungkin dilakukan.
"Kita harus menyelamatkan alam, jadi kami pikir kami akan melakukan tindakan apa pun untuk melindungi sumber daya kami," katanya.
Advertisement
Upaya Pemerintah Belum Berbuah Hasil
Namun, Pavich mengakui bahwa upaya pemerintah untuk mengatasi masalah polusi udara yang semakin meningkat, khususnya di wilayah utara Thailand, belum membuahkan hasil.
Kabinet menyetujui RUU yang berfokus pada udara bersih tahun ini, dan Pavich mengatakan bahwa pejabat taman nasional telah meningkatkan upaya untuk mencegah dan memadamkan kebakaran di kawasan lindung.
"Sektor pertanian sangat menantang bagi kami," katanya, mengacu pada pembakaran pascapanen yang terus berlanjut yang merupakan penyebab utama kabut asap musiman.
Ia menggarisbawahi bahwa perbaikan tidak mungkin dilakukan dalam beberapa tahun mendatang.
Pavich menyebut bahwa departemennya, yang merupakan bagian dari Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, sedang mendorong undang-undang perubahan iklim pertama di Thailand, yang telah diberlakukan setidaknya sejak tahun 2019 tetapi ditangguhkan karena pandemi COVID-19.
Pavich mengatakan undang-undang tersebut, yang mencakup ketentuan mengenai segala hal mulai dari penetapan harga karbon hingga langkah-langkah mitigasi dan adaptasi, kemungkinan akan disahkan menjadi undang-undang tahun ini.
Thailand bertujuan untuk menjadi netral karbon pada tahun 2050, dan mencapai emisi gas rumah kaca nol pada tahun 2065.