Ironis, di Indonesia Guru Berperan Sebarkan Ujaran Kebencian

Guru sangat berperan memberikan edukasi pada masyarakat, khususnya kepada peserta didik dalam menyaring informasi

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jun 2018, 20:30 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2018, 20:30 WIB
Intip Para Siswa di China Ikuti Ujian Gaokao
Suasana para siswa mengerjakan soal menjelang ujian tahunan "Gaokao" atau ujian masuk perguruan tinggi di China, Handan, provinsi Hebei Utara (23/5). Gaokao China akan berlangsung 7-8 Juni tahun ini. (AFP Photo/China Out)

 

Liputan6.com, Jakarta Di sekolah, guru memegang kendali penuh akan proses belajar mengajar. Guru sangat berperan memberikan edukasi pada masyarakat, khususnya kepada peserta didik dalam menyaring informasi dan bukan sebaliknya guru menjadi sumber penyebab perpecahan.

Sungguh ironis ketika guru yang seharusnya digugu dan ditiru tampil sebagai sosok yang dapat diteladani siswanya, justru menjadi oknum penyebar ujaran kebencian melalui media sosial, seperti pada sejumlah kasus yang terjadi belakangan. Misalnya, guru RPH (48 tahun) di Rangkasbitung, Lebak, Banten atau pada kasus oknum guru FSA d Kayong Utara, Kalimantan Barat sebagai tersangka penyebar hoaks soal serangan bom Surabaya.

Sekolah dan guru seharusnya melahirkan ide-ide pembelajaran, melahap buku-buku dan literatur berbagi ilmu, menyiapkan generasi cerdas, dan tidak seharusnya malah menyebarkan berita palsu dan permusuhan dengan sentimen SARA.

Program penguatan pendidikan karakater yang digencarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan sejak 2016 melalui gerakan literasi sekolah sayangnya hanya fokus pada siswa semata dan tidak ikut menyiapkan guru dengan keterampilan literasi memadai.

Guru seharusnya menjadi agen perubahan bukan justru sebaliknya malah mencoreng wajah pendidikan. Berkaca pada kasus penyebaran berita hoaks oleh oknum guru maka pemerintah, baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sudah sepatutnya mengambil sikap.

Program penguatan pendidikan karakater tidak cukup hanya diberikan kepada peserta didik, tetapi literasi yang berkelanjutan untuk guru menjadi harga mutlak. Fakta bahwa pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kualitas guru yang dapat disimak dari hasil uji kompetensi guru (UKG) tahun 2015. UKG hanya mencapai nilai rata-rata 53,02 persen dan kompetensi calon guru hanya mencapai 44 persen. Data tersebut mengindikasi kualitas guru di Indonesia masih jauh dari memadai, rata-rata secara nasional hanya 44,5 atau jauh di bawah nilai standar 75.

Permasalah rendahnya budaya literasi di Indonesia diakui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tidak lepas dari faktor kesejarahan dan terjadi bersifat multikompleks. Tumbuhnya sekolah-sekolah dasar setelah kemerdekaan bertujuan menghapuskan buta huruf untuk 90 persen masyarakat di Indonesia sehingga target pembelajaran di sekolah sekadar siswa mampu membaca, tetapi tidak sampai mampu membaca cerdas.

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu mengatakan bahwa kondisi tersebut diperparah dengan terlalu dominannya metode ceramah serta keengganan guru menerapkan cara belajar siswa aktif (CBSA). Masalah tersebut, diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk para guru juga mewarisi cara belajar yang didapat dari guru-guru mereka sebelumnya.

Sekolah pada zaman kini membutuhkan guru yang mampu membangun karakter dan literasi siswa. Lebih penting lagi, guru yang memiliki integritas tinggi dalam meningkatkan kualitas pendidikan, guru-guru yang ikut gemar membaca dan membiasakan berpikir kritis, baik untuk diri sendiri maupun kepada siswa, sehingga menjamin rasa aman kepada orang tua yang menitipkan anak-anaknya di sekolah. (Antaranews/Zita Meirina)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya