Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 di Korea Utara tengah melambung dan membawa berbagai kemungkinan yang merugikan.
Salah satu yang mungkin terjadi adalah terlahirnya varian baru dari virus Corona penyebab COVID-19. Seperti disampaikan ahli epidemiologi, Dicky Budiman.
Baca Juga
“Kalau bicara potensi adanya atau lahirnya varian baru tentu ya ada karena bagaimanapun ketika virus itu bersirkulasi dengan bebas ya dia mudah untuk menginfeksi dan akhirnya bermutasi. Yang pada gilirannya menghasilkan varian baru,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara belum lama ini.
Advertisement
Ia juga membahas alasan mengapa kasus COVID-19 di Korea Utara menjadi sangat buruk. Pertama, pada dasarnya Korea Utara adalah negara yang rawan terhadap ancaman wabah.
“Korea Utara yang saya juga pernah melakukan kunjungan ke sana, adalah negara yang sebetulnya sangat rawan dari sisi ancaman wabah,” ujar Dicky.
“Karena apa? Bicara respons wabah ini bicara transparansi data, bicara transparansi data ini juga bicara bagaimana sistem kesehatan yang ada bisa mendeteksi dan berkolaborasi secara global. Ini salah satu yang lemah pada negara-negara dengan sistem sosial seperti Korea Utara.”
Korea Utara adalah negara dengan sistem sosial dan pemerintahan yang tertutup. Dan ini diperparah dengan adanya keterbatasan atau akses yang sangat minim pada vaksin. Bahkan cakupan vaksinasi mereka saat ini sangat rendah.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sulit Diprediksi
Saking tertutupnya, sulit untuk memprediksi berapa persen cakupan vaksinasi di Korea Utara.
“Yang jelas sangat rendah. Jangankan bicara tiga dosis seperti di Indonesia, bicara satu dosis pun ini menjadi satu hal yang sangat tidak mudah.”
Sistem negara yang tidak terbuka juga dapat membuat penduduknya tidak mudah atau tidak bebas untuk mengekspresikan kondisi atau memilih sikap.
“Bisa jadi orang-orang memilih untuk menganggapnya sebagai demam biasa saja, nah ini yang bisa membawa virus ini lebih cepat menular terutama pada orang-orang yang rawan.”
Hal kedua, terkait kemampuan mereka dalam mendeteksi kasus akibat keterbatasan tes.
“Kemampuan mereka dalam mendeteksi kasus-kasus relatif rendah karena keterbatasan testing juga.”
Hal ketiga yang berkontribusi membuat Korea Utara memiliki situasi wabah yang buruk adalah status gizi.
“Satu lagi yang berkaitan dengan Korea Utara adalah status gizi yang kategorinya buruk, ini bukan hanya pada anak tapi juga pada orang dewasa. Ini yang pada akhirnya mau tidak mau berpengaruh pada situasi pandeminya.”
Advertisement
Penambahan Harian yang Signifikan
Laporan sebelumnya menyampaikan, dalam sehari kasus yang mereka sebut demam bisa bertambah sekitar 250 ribuan.
Kantor Berita Pusat Korea mengatakan lebih dari 1,98 juta orang di sana menderita demam yang diyakini sebagai COVID-19.
Angka nyaris dua juta itu hanya seminggu setelah negara itu mengakui adanya kasus Omicron pertama dan bergegas untuk memperlambat infeksi pada populasi yang tidak divaksinasi.
Negara yang juga akrab disebut Korut berusaha mencegah ekonominya yang rapuh agar tidak semakin memburuk, tetapi wabah itu bisa lebih buruk daripada yang dilaporkan secara resmi.
“Pasalnya, negara itu tidak memiliki tes virus dan sumber daya perawatan kesehatan lainnya dan mungkin tidak melaporkan kematian untuk melunakkan dampak politik pada pemimpin otoriter Kim Jong Un,” mengutip Seattletimes, Jumat (20/5/2022).
Markas besar anti-virus Korea Utara melaporkan satu kematian tambahan, meningkatkan jumlah korban menjadi 63. Angka ini menurut para ahli sangat kecil dibandingkan dengan jumlah dugaan infeksi virus Corona.
Hampir 2 Juta
Mengenai nyaris dua juta orang menderita demam sejak akhir April. Sebagian besar diyakini sakit COVID-19, meskipun hanya beberapa infeksi varian Omicron yang telah dikonfirmasi. Setidaknya 740.160 orang dikarantina.
Wabah Korea Utara terjadi di tengah serangkaian demonstrasi senjata yang provokatif, termasuk uji coba pertama rudal balistik antarbenua dalam hampir lima tahun pada bulan Maret.
Para ahli tidak percaya wabah COVID-19 akan memperlambat sikap Pemimpin Korut Kim Jong Un yang bertujuan menekan Amerika Serikat untuk menerima gagasan Korea Utara sebagai negara dengan kekuatan nuklir dan merundingkan konsesi ekonomi dan keamanan dari posisi yang kuat.
Korea Utara akhirnya mengakui infeksi COVID-19 pertamanya pada 12 Mei 2022. Negara itu juga telah mengatakan bahwa penyebaran yang cepat sejak itu.
Kim menyebut wabah itu sebagai "pergolakan besar," mencaci para pejabat karena membiarkan virus menyebar dan membatasi pergerakan orang dan pasokan antar kota dan wilayah.
Para pekerja dikerahkan untuk menemukan orang-orang yang diduga memiliki gejala COVID-19 yang kemudian dikirim ke karantina – metode utama untuk menahan wabah karena Korea Utara kekurangan pasokan medis dan unit perawatan intensif yang menurunkan rawat inap dan kematian COVID-19 di negara lain.
Advertisement