Perkuat Ilmu Titen, Saran UGM Cegah Banjir Bandang Garut Terulang

Dalam jangka panjang, perbaikan penataan DAS wajib dilakukan untuk mencegah banjir bandang terulang di Garut.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 27 Sep 2016, 10:34 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2016, 10:34 WIB
20160923- Penyisiran Bangkai Mobil Usai Banjir Bandang Cimacan-Johan Tallo
Prajurit Kostrad TNI AD memeriksa bangkai mobil yang diduga terdapat jenazah korban musibah banjir bandang di Cimacan, Garut (23/9). Data terakhir, korban jiwa mencapai 26 orang dan warga yang dilaporkan hilang 23 orang. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Yogyakarta - Universitas Gadjah Mada (UGM) memberi masukan untuk mengatasi banjir bandang terulang kembali di Garut, Jawa Barat. Saran itu diberikan berdasarkan penelitian lapangan dari tim akademisi lintas disiplin yang datang ke lokasi bencana di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Tarogong Kidul, pada 21 September 2016 lalu.

"Dalam jangka pendek harus mengantisipasi terjadi banjir bandang dengan menguatkan sistem peringatan dini banjir bandang," ujar Rektor UGM Dwikorita Karnawati, dalam jumpa pers di Yogyakarta, Senin, 26 September 2016.

Ia tidak memungkiri kondisi geografis di Indonesia yang rentan banjir tidak hanya terjadi di Garut, melainkan juga daerah lain berkarakteristik sejenis (dataran rendah atau lembah dikelilingi gunung), seperti Ambon, Gorontalo, Jayapura, Wasior, dan sebagainya.

Menurut dia, sistem peringatan dini dapat diukur dari curah hujan dan ilmu titen. Ilmu titen yang dimaksud adalah sensor yang ada dalam diri manusia untuk menengarai indikasi banjir bandang.

Dwikorita mencontohkan, air sungai yang berubah menjadi keruh dapat menjadi pertanda walaupun hujan belum turun. Pasalnya, itu menjadi ciri hujan deras turun di pegunungan dan mengakibatkan erosi intensif dari hulu.

"Selain keruh, air yang tiba-tiba naik 10 atau 20 sentimeter juga jadi tanda karena bisa saja setelah itu arus deras datang secepat kilat," ucap dia.

Sementara, kata Dwikorita, masukan untuk jangka menengah dan panjang adalah menata daerah aliran sungai (DAS). "Tata ruang yang tidak tepat memicu pembukaan lahan yang tidak terkendali," kata dia.

Ia menilai konservasi perlu dilakukan secara tepat dengan menanam vegetasi yang sesuai dan posisi tanam yang pas. Dia juga sudah memberi edukasi kepada masyarakat untuk menampung air hujan dan diresapkan ke dalam tanah sehingga tidak masuk ke sungai.

"Tetapi tampungan dilakukan di tanah datar, jangan di lereng supaya tidak memicu longsor," kata Dwikorita.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya