Liputan6.com, Yogyakarta - Universitas Gadjah Mada (UGM) memberi masukan untuk mengatasi banjir bandang terulang kembali di Garut, Jawa Barat. Saran itu diberikan berdasarkan penelitian lapangan dari tim akademisi lintas disiplin yang datang ke lokasi bencana di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Tarogong Kidul, pada 21 September 2016 lalu.
"Dalam jangka pendek harus mengantisipasi terjadi banjir bandang dengan menguatkan sistem peringatan dini banjir bandang," ujar Rektor UGM Dwikorita Karnawati, dalam jumpa pers di Yogyakarta, Senin, 26 September 2016.
Ia tidak memungkiri kondisi geografis di Indonesia yang rentan banjir tidak hanya terjadi di Garut, melainkan juga daerah lain berkarakteristik sejenis (dataran rendah atau lembah dikelilingi gunung), seperti Ambon, Gorontalo, Jayapura, Wasior, dan sebagainya.
Menurut dia, sistem peringatan dini dapat diukur dari curah hujan dan ilmu titen. Ilmu titen yang dimaksud adalah sensor yang ada dalam diri manusia untuk menengarai indikasi banjir bandang.
Baca Juga
Dwikorita mencontohkan, air sungai yang berubah menjadi keruh dapat menjadi pertanda walaupun hujan belum turun. Pasalnya, itu menjadi ciri hujan deras turun di pegunungan dan mengakibatkan erosi intensif dari hulu.
"Selain keruh, air yang tiba-tiba naik 10 atau 20 sentimeter juga jadi tanda karena bisa saja setelah itu arus deras datang secepat kilat," ucap dia.
Sementara, kata Dwikorita, masukan untuk jangka menengah dan panjang adalah menata daerah aliran sungai (DAS). "Tata ruang yang tidak tepat memicu pembukaan lahan yang tidak terkendali," kata dia.
Ia menilai konservasi perlu dilakukan secara tepat dengan menanam vegetasi yang sesuai dan posisi tanam yang pas. Dia juga sudah memberi edukasi kepada masyarakat untuk menampung air hujan dan diresapkan ke dalam tanah sehingga tidak masuk ke sungai.
"Tetapi tampungan dilakukan di tanah datar, jangan di lereng supaya tidak memicu longsor," kata Dwikorita.