Wall Street Turun Terbatas, Investor Cermati Pernyataan Ketua The Fed Powell

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melemah 47,12 poin atau 0,15 persen menjadi 30.483,13.

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Jun 2022, 06:58 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2022, 06:58 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street jatuh ke zona bearish setelah indeks Dow Jones turun 20,3% dari level tertingginya bulan lalu. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan Rabu, 22 Juni 2022. Hal ini seiring pasar berjuang untuk mempertahankan kenaikan dari hari sebelumnya. Selain itu, pelaku pasar juga mempertimbangkan komentar dari ketua the Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell yang kembali menegaskan sikap bank sentral untuk meredam inflasi.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melemah 47,12 poin atau 0,15 persen menjadi 30.483,13. Indeks Dow Jones tergelincir pada jam terakhir perdagangan. Indeks S&P 500 susut 0,13 persen menjadi 3.759,89. Indeks Nasdaq turun terbatas 0,15 persen menjadi 11.053,08.

Kekhawatiran yang berkembang dari resesi di wall street baru-baru ini membebani saham. Pada Rabu, 22 Juni 2022, ketua the Fed Powell mengatakan kepada Kongres kalau bank sentral memiliki “keputusan” untuk menjinakkan inflasi yang telah melonjak ke level tertinggi 40 tahun.

“Kami memahami kesulitan yang disebabkan oleh inflasi yang tinggi. Kami sangat berkomitmen untuk menurunkan inflasi, dan kami bergerak cepat untuk melakukannya,” ujat Powell kepada Senat Banking Committee, dikutip dari CNBC, Kamis (23/6/2022).

Powell menambahkan, the Fed akan tetap di jalurnya hingga melihat bukti kuat inflasi sedang turun. Ia juga menuturkan mencapai soft landing untuk ekonomi tanpa resesi telah menjadi jauh lebih menantang.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Inflasi Tetap Jadi Risiko Terbesar

(Foto: Ilustrasi wall street. Dok Unsplash/lo lo)
(Foto: Ilustrasi wall street. Dok Unsplash/lo lo)

The Fed menaikkan suku bunga 0,75 persen pekan lalu dan mengisyaratkan peningkatan suku bunga sebesar itu pada bulan depan. Sikap bank sentral pekan lalu yang lebih agresif melawan inflasi membuat investor bingung. Investor khawatir bank sentral lebih suka mengambil risiko resesi ketimbang menanggung inflasi tinggi yang terus menerus.

“Inflasi tetap menjadi risiko terbesar bagi aset keuangan, dan Jerome Powell telah membuat posisinya sangat jelas. The Fed akan terus menaikkan suku bunga sampai inflasi mulai berkurang,” ujar Chief Investment Officer Blanke Schein Wealth Management, Robert Schein.

Ia menambahkan, sampai saat itu, reli berkelanjutan untuk aset berisiko sulit dibayangkan. “Kondisi moneter yang ketat akan terus menerus menjadi hambatan bagi pasar keuangan sampai the Fed memberikan lampu hijau,” ujar dia.

Ekspektasi dari resesi yang tertunda terus tumbuh di wall street pekan ini. Citigroup meningkatkan peluang resesi global menjadi 50 persen, menunjuk pada data konsumen mulai menarik kembali pengeluarannya.

Kekhawatiran Resesi

(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)
(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

"Pengalaman sejarah menunjukkan disinflasi sering membawa biaya yang berarti untuk pertumbuhan, dan kami melihat kemungkinan agregat resesi saat ini mendekati 50 persen,” demikian mengutip dari catatan Citigroup.

Goldman Sachs percaya resesi menjadi semakin mungkin untuk ekonomi AS dengan mengatakan risikonya lebih tinggi dan banyak di depan.

“Alasan utamanya adalah jalur pertumbuhan dasar kami sekarang lebih rendah, dan kami semakin khawatir the Fed akan merasa terdorong untuk menanggapi secara paksa inflasi utama yang tinggi dan harapan inflasi konsumen jika harga energi naik lebih lanjut. Bahkan jika aktivitas melambat tajam,” ujar perusahaan.

Sementara itu, UBS mengatakan, dalam sebuah catatan kepada klien mereka tidak mengharapkan Amerika Serikat dan resesi global pada 2022 atau 2023. "Tetapi jelas risiko hard landing meningkat. Bahkan jika ekonomi benar-benar tergelincir ke dalam resesi, bagaimanapun, itu harus menjadi dangkal mengingat kekuatan konsumen dan neraca bank,” UBS menambahkan.

Saham energi terpukul karena harga minyak turun di tengah kekhawatiran ekonomi yang lebih lambat akan menganggu permintaan bahan bakar. Sektor ini berkinerja terburuk dengan turun hampir 4,2 persen. Saham Marathon Oil dan ConocoPhilips masing-masing turun 7,2 persen dan sekitar 6,3 persen. Occidental Petroleum dan Exxon Mobil turun 3,6 persne dan hampir 4 persen.

Pada Rabu, Presiden AS Joe Biden meminta Kongres untuk menangguhkan pajak gas federal selama tiga bulan. Upaya itu dimaksudkan untuk mengurangi tekanan bagi konsumen selama tahun pemilu.

Penutupan Wall Street 22 Juni 2022

Ilustrasi wall street (Photo by Patrick Weissenberger on Unsplash)
Ilustrasi wall street (Photo by Patrick Weissenberger on Unsplash)

 

Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street menguat pada perdagangan Selasa, 22 Juni 2022. Hal ini seiring investor menilai bank sentral AS atau the Federal Reserve lebih agresif dan meningkatnya peluang resesi.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melonjak 641,47 poin atau 2,15 persen menjadi 30.530,25. Indeks S&P 500 menguat 2,45 persen menjadi 3.764,79. Indeks Nasdaq bertambah 2,51 persen menjadi 11.069,30. Adapun wall street libur pada Senin, 21 Juni 2022 untuk merayakan Juneteenth.

Pergerakan wall street ikuti koreksi pekan lalu dengan indeks S&P 500 mencatat mingguan terburuk sejak 2020. Banyak investor khawatir kenaikan di tengah meningkatnya kekhawatiran resesi mungkin berumur pendek, meski yang lain memperkirakan saham mungkin jenuh jual setelah harga lebih akurat terkait tekanan inflasi.

“Pertanyaan yang luar biasa adalah apakah ini hanya sebuah bouncing atau bottom,” ujar Chief Investment Strategist CFRA Research Sam Stovall dikutip dari CNBC, Rabu (22/6/2022).

Stoval prediksi indeks S&P 500 dapat kembali melemah ke posisi 3.200 sebelum pulih, atau penurunan lebih dari 30 persen dari rekor tertingginya.

Pantulan besar semacam ini sudah biasa selama pasar bearish. Indeks S&P 500 telah melonjak lebih dari 2 persen pada 10 kesempatan lain sejak penurunan ini dimulai pada awal Januari sehingga membuat saham lebih rendah.

Sejumlah investor kenaikan ini menjadi salah satu yang menandai pergantian terutama tanpa berita dan katalis yang jelas mendorongnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya