Liputan6.com, Jakarta - SMERU Research Institute menyoroti program dana desa yang cenderung dipakai untuk pembangunan bersifat tangible (berwujud) semata.Â
Peneliti SMERU, Gema Satria menyampaikan kekhawatiran itu bila desa tidak bisa memenuhi harapan dari dana desa yang terus meningkat hingga Rp 800 juta.  Padahal dana desa juga diperlukan untuk program pemberdayaan.Â
Dalam penelitian yang berlangsung di tiga provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Tengah (Jateng), dan Jambi ternyata, ditemukan masih banyak desa yang berfokus ke pembangunan fisik, seperti jalan.
Advertisement
"Belanja desa didominasi pembangunan bersifat fisik. Memang kalau fisik kenapa? Ya tidak salah juga, tapi kalau ke depannya terus bangun jalan lagi, kok rasanya desa tidak ke mana-mana, cuma jalan saja. Bahkan di satu desa ada anekdot, mereka kehabisan ide, sawah mereka mau dipagari. Mungkin nanti sawahnya di keramik," ujar dia dalam Indonesia Development Forum (IDF) pada Rabu (7/11/2018) di Jakarta.
Baca Juga
Kurangnya perencanaan juga menjadi masalah dalam pemakaian dana desa. Salah satu contoh pembangunan fisik desa bersifat sporadis.
"Jadi setiap RT ditanyai, dari pembangunannya kecil-kecil dan tidak tersambung satu sama lain dan tidak sistematis,"Â kata dia.
Gema menyebut sekitar 60-80 persen dana desa dipakai untuk pembangunan fisik. Walaupun sudah ada desa yang mengalokasikan pemakaian dana desa untuk pembangunan fisik agar tak melewati angka 70 persen, seperti di Batanghari.
Ia menyampaikan, perlunya pembenahan perencanaan agar bergeser ke pemberdayaan, walaupun sejauh ini pembangunan fisik masih bisa terbilang wajar.
"Kegiatan bersifat pembangunan masih wajar, karena masih butuh, dan ada juga antrean dari tahun lalu yang belum terpenuhi, dan Pemerintah Desa masih terbiasa melakukan kegiatan fisik karena administrasinya lebih mudah," ujar dia.
Â
Solusi Pemberdayaan
Gema menyampaikan, ada solusi untuk mengatasi kasus demikian. Salah satunya adalah diperlukan pembenahan perencanaan dan meningkatkan kualitas pendampingan agar bisa fokus pada substansi ketimbang administrasi.
"Sejauh ini pendampingan sudah diturunkan dan mereka khusus bertugas supaya desa melakukan pemberdayaan. Tapi karena aturan dana desa, turunan-turunannya, selalu bertambah dan berubah-ubah, jadinya mereka (pendamping) jauh dari substansi dan lebih disibukkan ke membantu administrasi," ujar dia.
Pemberdayaan yang dimaksud juga mesti yang berkelanjutan, sehingga warga tetap bisa memakai kemampuan mereka untuk produksi setelah selesai melakukan pelatihan yang dijalani.
"Beberapa desa hanya kepentok di pelatihan saja. Jadi ada desa bikin pelatihan menjahit sudah, pelatihan ternak sudah, padahalnya harusnya pemberdayaan itu berkelanjutan, kalau misalnya bikin pelatihan menjahit harus dipikirkan supaya menjadi usaha, ada modalnya, ada pendampingan usahanya," tutur dia.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Â
Â
Â
Advertisement