Liputan6.com, Jakarta - Ekonom melihat perang Rusia Ukraina dan serangkaian sanksi ekonomi akan menyebabkan perubahan yang jauh lebih besar bagi ekonomi dan pasar Eropa daripada krisis sebelumnya seperti pandemi Covid-19.
Kepala Riset Makro Global ING, yakni Carsten Brzeski mencatat pekan lalu bahwa Eropa sangat berisiko kehilangan daya saing internasional akibat perang di Ukraina.
Baca Juga
"Untuk benua ini, perang lebih merupakan pengubah permainan daripada pandemi yang pernah ada. Saya tidak berbicara hanya dalam hal kebijakan keamanan dan pertahanan tetapi terutama tentang seluruh ekonomi," kata Brzeski, dikutip dari CNBC International, Rabu (13/4/2022).
Advertisement
"Zona euro sekarang mengalami penurunan model ekonomi fundamentalnya, yaitu ekonomi berorientasi ekspor dengan tulang punggung industri besar dan ketergantungan yang lebih tinggi pada impor energi," bebernya.
Setelah mendapat manfaat dari globalisasi dan pembagian kerja dalam beberapa dekade terakhir, zona euro sekarang harus meningkatkan transisi hijau dan mengejar otonomi energi.
Sementara pada saat yang sama meningkatkan pengeluaran untuk pertahanan, digitalisasi, dan pendidikan.
Brzeski mencirikan ini sebagai tantangan yang "dapat dan benar-benar harus berhasil."
"Jika dan ketika itu terjadi, Eropa harus diposisikan dengan baik. Tetapi tekanan pada keuangan dan pendapatan rumah tangga akan tetap besar sampai di sana. Sementara laba perusahaan akan tetap tinggi," jelasnya.
"Eropa menghadapi krisis kemanusiaan dan transisi ekonomi yang signifikan. Perang sedang berlangsung di 'keranjang roti' Eropa, area produksi utama untuk biji-bijian dan jagung. Harga pangan akan naik ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Inflasi yang lebih tinggi di negara maju bisa menjadi masalah hidup dan mati di negara berkembang," pungkas Brzeski.
Tekanan Tambahan
Diketahui bahwa konflik Rusia-Ukraina membuat para pemimpin di Eropa terpaksa untuk mempercepat rencana mengurangi ketergantungan pada energi Rusia.
Parlemen Eropa juga sudah menyerukan embargo segera pada minyak Rusia, batu bara, bahan bakar nuklir, hingga gas.
Namun, pemisahan agresif ini berdampak pada ekonomi Eropa, mendorong inflasi yang sudah tinggi dan mengancam akan merusak pemulihan manufaktur yang dimulai tahun lalu ketika ekonomi berusaha bangkit dari pandemi Covid-19.
Ekonom mengakui bahwa, pergeseran dalam ekonomi Eropa, dan global, akan memberikan tekanan tambahan pada bank sentral dan pemerintah yang sulit dalam mengatur inflasi melawan keberlanjutan fiskal.
Dalam sebuah catatan, grup perbankan Prancis, BNP Paribas memperkirakan bahwa dorongan yang lebih cepat untuk dekarbonisasi, pengeluaran dan utang pemerintah yang lebih tinggi, tantangan yang lebih kuat terhadap globalisasi dan tekanan inflasi yang lebih tinggi akan isu masalah yang bertahan lama di kawasan euro.
"Latar belakang ini memberikan bank sentral lingkungan yang lebih menantang untuk melakukan kebijakan dan menjaga inflasi pada target, tidak hanya mengurangi kemampuan mereka untuk berkomitmen pada jalur kebijakan tertentu tetapi membuat kesalahan kebijakan lebih mungkin terjadi," kata Ekonom Senior Eropa BNP Paribas, Spyros Andreopoulos.
Dia juga mencatat bahwa menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi pada akhirnya akan menyulitkan otoritas fiskal.
"Meskipun ini bukan masalah langsung, paling tidak karena pemerintah umumnya memperpanjang jatuh tempo rata-rata utang mereka di tahun-tahun suku bunga rendah, lingkungan suku bunga yang lebih tinggi dapat mengubah kalkulus fiskal juga. Pada akhirnya, masalah keberlanjutan utang dapat muncul kembali," papar Andreopoulos.
Advertisement
Pemulihan Ekonomi RI Terancam Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia-Ukraina merupakan ancaman terhadap pemulihan perekonomian Indonesia yang saat ini masih berada dalam kondisi rapuh akibat hantaman pandemi Covid-19. Tekanan yang dihadapi Indonesia kian bertambah karena tahun 2022 ini Indonesia juga memegang presidensi konferensi G20.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri.
"Sebagaimana kita ketahui, Amerika mengancam akan memboikot konferensi G20, jika acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Rusia,” ujar Yose Rizal Damuri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (9/4/2022).
Rusia merupakan pemasok bahan mentah yang penting bagi perekonomian dunia, menduduki posisi sebagai eksportir minyak terbesar keempat di dunia dengan rata-rata nilai ekspor 7,4 juta barel per hari. Ukraina juga merupakan negara pengekspor gandum yang besar di dunia.
Hal ini menjadikan konflik di antara kedua negara memberikan dampak besar terhadap perekonomian dunia, terutama pada sektor komoditas dan energi.
Ia menambahkan, akibat konflik ini, lembaga OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memperkirakan, penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 percentage point.
Ini angka yang besar sekali, karena pertumbuhan perekonomian dunia belum pulih sepenuhnya. Dampak yang tidak sedikit juga tampak pada inflasi. Padahal, saat ini inflasi sudah tinggi akibat disrupsi pasokan bahan baku selama pandemi. Invasi Rusia kemungkinan akan memperparah tingkat inflasi, terutama bagi negara konsumen energi, seperti Indonesia.
Perlu Antisipasi
Bagi Indonesia, dampak langsung konflik Rusia-Ukraina sebenarnya tidak terlalu signifikan, karena kedua negara tersebut bukan mitra dagang utama kita, menurut Yose Rizal Damuri.
Namun, tetap saja, Indonesia harus melakukan langkah antisipasi, karena kita mengimpor gandum dan bahan pangan lain dari kedua negara tersebut. Yang pasti, konflik antara kedua negara tersebut akan mempengaruhi rantai pasokan bahan baku ke dalam negeri.
“Dampak tidak langsung datang dari imbas konflik pada perekonomian negara-negara Uni Eropa (UE) dan negara lain yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Dampak tidak langsung ini tidak selalu negatif, karena dengan rusaknya hubungan dagang antara Rusia dan negara lain, kita bisa mendapatkan windfall benefit akibat pengalihan aktivitas ekonomi ke Indonesia. Sebagai contoh, produk CPO (crude palm oil) dari Indonesia harganya jadi meningkat. Sekarang tinggal bagaimana caranya kita mengatur agar dampak negatif dan positif ini bisa seimbang," ungkap Yose.
Advertisement