Liputan6.com, Jakarta - Menjelang tahun 2024, APINDO kembali merilis outlook ekonomi dan bisnis sebagai gambaran perekonomian makro serta iklim bisnis-investasi. ketua umum APINDO Shinta Widjadja Kamdani memberikan sejumlah prediksi ekonomi di Indonesia tahun 2024.
Shinta mengatakan, terdapat sejumlah tantangan dan kondisi perekonomian yang dihadapi, diantaranya faktor total saving (tabungan bruto) hanya 39% dari PDB serta total kapitalisasi pasar modal hanya 49% dari PDB.
Baca Juga
“Dengan Investment Capital Output Ratio (ICOR) yang tinggi di angka 7,6 di tahun 2023, pertumbuhan ekonomi yang jauh melampaui 5% tidak akan dapat tercapai. Jika target pertumbuhan 6%, maka dibutuhkan rasio investasi terhadap PDB sekitar 36%.” kata Shinta pada Kamis, (21/12) di Jakarta.
Advertisement
Sebelumnya, Shinta memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di dalam rentang 4,8% hingga 5,3% year on year.
Memasuki tahun politik, adanya kondisi proses peralihan kepemimpinan nasional di tahun depan, investasi asing belum bisa diharapkan menjadi pendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut juga disampaikan Shinta karena investor cenderung wait and see untuk melakukan keputusan investasi di tahun politik.
Meskipun pemerintah terus memacu investasi pada beberapa tahun terakhir, nyatanya Shinta mengatakan bahwa penciptaan lapangan kerja justru menurun signifikan dengan kecenderungan penyusutan daya serap tenaga kerja yang tinggal seperempat dalam sembilan tahun terakhir.
Tak hanya itu, di tengah meningkatnya investasi padat modal yang perlu tenaga kerja dengan keterampilan tinggi, kondisi pasar tenaga kerja Indonesia masih didominasi pencari kerja dengan keterampilan yang rendah.
Tantangan Lain
APINDO menilai tantangan lainnya juga datang dari sistem Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA) masih menyulitkan dan belum maksimal. Hal tersebut disebabkan kurangnya komitmen dari kementerian dan lembaga terkait serta minimnya sinergi platform teknologi Indonesia. Tak hanya itu, ketidaksiapan SDM dan koordinasi dengan pemerintah daerah juga menjadi salah satu penyebabnya.
Di sisi lain, hilirisasi juga dinilai belum optimal oleh APINDO. Shinta mengatakan, pembatasan ekspor menyebabkan oversupply produk di dalam negeri.
“Pembatasan ekspor tersebut yang menyebabkan penurunan harga domestik dari produk terkait,” kata Shinta.
Meskipun pemerintah telah menetapkan harga dalam negeri 30% lebih rendah dari harga luar negeri, adanya struktur pasar monopsoni (sedikit pembeli) membuat keseimbangan harga pasar akan berada di bawah ketentuan pemerintah.
Advertisement