Pagar Laut Misterius di Tangerang 30 Km, Simak Dampaknya ke Nelayan

Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, menuai kritik tajam dari pengamat maritim

oleh Tira Santia diperbarui 09 Jan 2025, 11:45 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2025, 11:45 WIB
Jakarta Diprediksi Tenggelam
Aktivitas anak-anak di kawasan Cilincing, Jakarta, Selasa (2/8/2021). Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) memperkirakan wilayah Jakarta bagian Utara akan tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut imbas pemanasan global dan pencairan lapisan es. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, menuai kritik tajam dari pengamat maritim DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC). Ia menyebut tindakan pagar laut ini tidak hanya berpotensi melanggar hukum, tetapi juga mencerminkan konflik kepentingan antara kepentingan publik dan privat dalam pengelolaan wilayah pesisir.

"Laut adalah sumber daya publik yang harus dikelola untuk kesejahteraan masyarakat. Pemagaran ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap prinsip tersebut," ujar Capt. Hakeng dalam wawancaranya, Kamis (9/1/2025).

Secara hukum, tindakan pemagaran ini dinilai melanggar beberapa regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2021 tentang Tata Ruang Laut. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum disebut menjadi faktor utama terjadinya pelanggaran ini.

Dampak Ekologis Pemagaran Laut

Dari sudut pandang ekologi, pemagaran laut menggunakan bambu, paranet, dan pemberat pasir dapat merusak habitat laut, mengurangi keanekaragaman hayati, dan mengganggu aliran air laut yang penting bagi ekosistem pantai.

"Laut memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Pemagaran seperti ini dapat mengancam keberlanjutan ekosistem dan menurunkan produktivitas perikanan," jelas Capt. Hakeng.

 

Dampak Sosial bagi Nelayan Tradisional

Melihat Rumah Apung di Kampung Nelayan Muara Angke
Nelayan membawa kerang hijau usai melaut ke rumahnya yang sudah direnovasi menjadi rumah apung di Kampung Nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu (14/8/2024). (merdeka.com/Arie Basuki)

Selain dampak ekologis, pemagaran ini juga membawa ketidakadilan sosial, terutama bagi 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya di kawasan tersebut.

Nelayan tradisional kini harus menempuh jarak lebih jauh untuk menangkap ikan, yang berdampak pada peningkatan biaya operasional dan penurunan hasil tangkapan.

"Pemagaran ini tidak hanya membatasi akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya laut, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekonomi mereka," tegas Capt. Hakeng.

 

Solusi untuk Pengelolaan Pesisir Berkelanjutan

Nadran Nelayan Tradisional Muara Angke
Sejumlah kapal nelayan dengan berbagai hiasan meramaikan Tradisi Nadran, atau sedekah bumi dengan melarungkan sesaji ke tengah laut, di Muara Angke, Jakarta, Minggu (26/11/2023). (merdeka.com/Imam Buhori)

Capt. Hakeng menekankan pentingnya pendekatan yang berorientasi pada keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir.

"Diperlukan pengawasan yang lebih ketat dan penerapan hukum yang konsisten untuk memastikan bahwa sumber daya laut tetap dapat diakses oleh masyarakat, terutama nelayan tradisional," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya