Data ekonomi Indonesia dan India pekan ini tercatat lebih baik dari prediksi sebelumnya. Para analis mengatakan, kondisi tersebut menandakan kedua negara mulai menunjukkan pertahanannya dalam menghadapi rencana kebijakan penarikan dana stimulus Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Meski demikian, seperti dikutip dari CNBC, Rabu (4/12/2013), Indonesia tampak lebih berisiko dibandingkan India. Ekonom Barclays Capital Prakiti Sofat mengatakan, dia yakin India mampu mengatasi tantangan The Fed, jauh lebih efektif daripada Indonesia.
"Secara keseluruhan, saya yakin Indonesia jauh lebih berisiko daripada India dalam menghadapi kebijakan The Fed," jelasnya.
Sepanjang tahun ini, Indonesia telah meningkatkan suku bunga acuannya sebesar 175 basis poin sejak The Fed mengumumkan rencananya. Langkah tersebut diambil guna mengatasi penurunan rupiah.
Sementara Bank Sentral India mengambil langkah lain seperti membatasi impor emas. Hasilnya India berhasil menstabilkan nilai tukar mata uangnya dan membantu para investor kembali ke negaranya.
Sejak awal tahun, rencana The Fed tersebut memang telah memukul keras ekonomi negara-negara berkembang khususnya Indonesia dan India. Pasalnya kedua negara ini mengalami pembengkakan defisit dalam jumlah besar. Dari Mei hingga akhir Agustus, IHSG tercatat telah merosot sebesar 26% dan saham India sebesar 13%.
Pekan ini, Indonesia dilaporkan mengalami surplus perdagangan yang mengejutkan sebesar US$ 42 juta selama Oktober. Padahal para analis sebelumnya memprediksi defisit hingga US$ 775 juta.
Sementara India juga dilaporkan mengalami penurunan besar untuk jumlah defisit transaksi berjalannya menjadi US$ 5,2 miliar. Angka tersebut merosot dari defisit sebelumnya sebesar US$ 21,8 miliar.
Sementara bagi Co-Head Asian Economics Research HSBC, Frederic Neumann, kondisi ekonomi yang lebih baik tak berarti kedua negara telah berada di level aman.
"Saya rasa kedua negara saat ini berada dalam posisi yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Namun memang masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah Indonesia dan India sudah di level aman atau belum," ungkap Neumann.
Dia mengatakan, para investor masih khawatir untuk menanamkan modalnya di negara-negara yang posisi perdagangannya masih lemah. Meski kondisi ekonomi Indonesia dan India telah membaik, tapi masih banyak hal yang harus dibenahi keduanya.
"Dalam jangka pendek, terlihat seperti mudah untuk menekan impor dan membuat neraca perdagangan tampak baik. Ujian sebenarnya adalah saat volume impor kembali melonjak. Saat itu, banyak sekali negara-negara berkembang yang perlu memperbaiki posisi perdagangan eksternalnya," jelas Neumann. (Sis/Ndw)
Meski demikian, seperti dikutip dari CNBC, Rabu (4/12/2013), Indonesia tampak lebih berisiko dibandingkan India. Ekonom Barclays Capital Prakiti Sofat mengatakan, dia yakin India mampu mengatasi tantangan The Fed, jauh lebih efektif daripada Indonesia.
"Secara keseluruhan, saya yakin Indonesia jauh lebih berisiko daripada India dalam menghadapi kebijakan The Fed," jelasnya.
Sepanjang tahun ini, Indonesia telah meningkatkan suku bunga acuannya sebesar 175 basis poin sejak The Fed mengumumkan rencananya. Langkah tersebut diambil guna mengatasi penurunan rupiah.
Sementara Bank Sentral India mengambil langkah lain seperti membatasi impor emas. Hasilnya India berhasil menstabilkan nilai tukar mata uangnya dan membantu para investor kembali ke negaranya.
Sejak awal tahun, rencana The Fed tersebut memang telah memukul keras ekonomi negara-negara berkembang khususnya Indonesia dan India. Pasalnya kedua negara ini mengalami pembengkakan defisit dalam jumlah besar. Dari Mei hingga akhir Agustus, IHSG tercatat telah merosot sebesar 26% dan saham India sebesar 13%.
Pekan ini, Indonesia dilaporkan mengalami surplus perdagangan yang mengejutkan sebesar US$ 42 juta selama Oktober. Padahal para analis sebelumnya memprediksi defisit hingga US$ 775 juta.
Sementara India juga dilaporkan mengalami penurunan besar untuk jumlah defisit transaksi berjalannya menjadi US$ 5,2 miliar. Angka tersebut merosot dari defisit sebelumnya sebesar US$ 21,8 miliar.
Sementara bagi Co-Head Asian Economics Research HSBC, Frederic Neumann, kondisi ekonomi yang lebih baik tak berarti kedua negara telah berada di level aman.
"Saya rasa kedua negara saat ini berada dalam posisi yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Namun memang masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah Indonesia dan India sudah di level aman atau belum," ungkap Neumann.
Dia mengatakan, para investor masih khawatir untuk menanamkan modalnya di negara-negara yang posisi perdagangannya masih lemah. Meski kondisi ekonomi Indonesia dan India telah membaik, tapi masih banyak hal yang harus dibenahi keduanya.
"Dalam jangka pendek, terlihat seperti mudah untuk menekan impor dan membuat neraca perdagangan tampak baik. Ujian sebenarnya adalah saat volume impor kembali melonjak. Saat itu, banyak sekali negara-negara berkembang yang perlu memperbaiki posisi perdagangan eksternalnya," jelas Neumann. (Sis/Ndw)