Liputan6.com, Sydney - Memakai celana jeans dan kaos, mereka tampak seperti mahasiswi Australia kebanyakan. Tapi, ternyata, di balik kesederahanaan itu, Jenny dan Gloria punya kisah perjalanan hidup yang berliku-liku, sebelum sampai ke Sydney.
Jenny dan Gloria-- keduanya bukan nama sebenarnya-- besar di kehidupan ningrat Korea Utara di bahwa ketatnya kontrol rezim. Namun, kini mereka berhasil keluar dari 'neraka' dan menjadi bagian dunia. Kendati demikian, mereka harus menyembunyikan identitasnya seumur hidup mereka, demi melindungi sanak keluarga yang masih tertinggal di Korut.
Baca Juga
"Keluarga besarku tak tahu aku ada di Australia," kata Gloria kepada News.com.au, yang dilansir Liputan6.com Kamis (14/4/2016).
Advertisement
"Aku tak bilang kepada mereka. Mereka masih ada di Korut, kalau mereka tahu, mereka bisa ditahan," lanjutnya.
Baca Juga
Ibu Gloria seperti kebanyakan perempuan Korut lainnya. Namun, keluarga mereka terlibat perdagangan bawah tangan untuk bisa bertahan hidup. Sang ibu mengekspor makanan sehat ke China. Selain itu, ia memiliki ponsel untuk membantunya bertransaksi di luar negeri, film-film Hollywood juga jadi tontonan biasa. Barang-barang itu jelas haram bagi rezim Kim Jong-un.
Namun, mereka hidup didera ketakutan, jangan-jangan suatu hari ada masalah dalam keluarganya. Hal itu membuat Gloria sadar, satu-satunya pilihan adalah keluar.
"Aku tak bisa tinggal di situasi seperti itu," kata Gloria.
"Ini cerita panjang. Keluargaku punya masalah, terutama dengan uang. Itu saja, aku tak bisa berkisah lebih lanjut," terang Gloria dengan mata menerawang.
Diam-diam, perempuan 26 tahun itu mengatur pertemuan dengan temannya di China untuk kabur ke negeri Tirai Bambu.
"Itu pengalaman yang traumatis dan menakutkan, sulit aku lupakan. Beberapa anggota militer membantu kami dan aku tak keluar uang sedikitpun," kenang Gloria.
Kisah Jenny yang kabur dari Korut tak jauh berbeda. Tiga tahun lalu, perempuan 23 tahun itu pergi meninggalkan Pyongyang bersama keluarga jauhnya -- karena sang ayah dalam kondisi bahaya.
"Sungguh menakutkan," kata Jeanny. Ia meninggalkan keluarganya dengan mobil di malam hari. "Aku tak mau ingat itu."
"Ayahku seorang intelijen, ia tahu segalanya tentang Korea Utara dan itu tidak baik untuk Korut. Latar belakang keluargaku membahayakan pemerintah," tambah Jenny.
"Kami membayar uang untuk broker, satu orang US$ 2.000 untuk bisa keluar dari Korut. Mungkin sekarang lebih mahal," ujarnya.
Kehidupan Baru di Korea Selatan
Sesampainya di Korsel, kehidupan tidak seindah yang dibayangkan. Dua perempuan muda itu menemukan banyak masalah.
"Kebanyakan orang Korsel tak menyukai kami," kata Jenny.
"Itu karena kami dari Korea Utara, aku merasa diperlakukan berbeda. Orang di sana tak memperlakukan kami sama," lanjut Jenny.
"Ada yang bagus ada yang tidak. Aku jelas kangen rumah, tapi aku telah memutuskan, memilih sebelum akhirnya aku harus mematuhi segala peraturan di Korsel, termasuk... dimusuhi," kata Jenny lagi.
Ketika Gloria diterima di universitas di Korea Selatan, ia sangat bersemangat melihat perbedaan pendidikan di negara barunya dan kampung halamannya.
Ia memutuskan memilih subyek yang menarik, namun faktanya tak semudah itu.
"Aku tak pernah melakukan hal-hal yang biasa mahasiswa lakukan di universitas, seperti diskusi dan membuat presentasi. Aku juga harus berlatih berkomunikasi," kata Gloria.
Ia tak biasa menulis esai dan yang paling sulit adalah berbahasa Inggris di antara teman-teman Korselnya yang jauh lebih mahir.
Yang paling sulit adalah mereka diperlakukan tidak sama.
"Tidak semua orang Korsel menerima kami. Kami mendapat tekanan karena berbeda. Di Korsel, latar belakang itu penting. Dari mana kamu berasal, orang akan menilai dari situ," kata Gloria.
"Di Australia, orang hormat kepada kami. Tak peduli seperti apa latar belakang yang kami miliki," timpal Jenny.
Gloria dan Jenny adalah orang pertama yang menerima beasiswa contoh untuk warga Korut yang tinggal Korsel untuk belajar bahasa Inggris di University of Technology Sydney (UTS).
Program yang baru dirilis beberapa waktu lalu kini ditawarkan kepada 5 siswa Korut tiap tahunnya.
Program itu termasuk tiket Korsel-Australia, biaya hidup, uang sekolah, dan akomodasi selama 30 minggu. Paket itu senilai 38.000 dolar Australia per mahasiswa.
Gloria dan Jenny berharap dengan meningkatnya kemampuan bahasa Inggris dan bertemu warga Australia lainnya akan membuka banyak kesempatan bagi mereka.
Advertisement
Unifikasi Korea Omong Kosong
Diperlakukannya warga Korut tak adil oleh Korsel rupanya makin meningkat.
"Globalisasi dan neoliberalisasi di Korsel membuat hidup kaum mudanya sulit. Mereka melihat unifikasi (Korut dan Korsel) adalah sesuatu yang berisiko," kata Emma Campbell, mantan dosen tamu Australian National University (ANU) serta penulis buku South Korea’s New Nationalism: The End of “One Korea”?
"Di atas segalanya, belajar bahasa Inggris di luar negeri, kaum muda Korsel merasa dekat dengan orang dari Amerika misalnya dibanding mereka yang dari Korut," lanjut Emma.
"Dahulu ada mitos etnik Korea harus bersatu, namun kini mereka--kaum muda--memandangnya sebagai negara berbeda. Pemuda-pemudi Korea Selatan tidak tertarik dengan penyatuan itu," kata Emma.
Dengan K-Pop yang mendunia, mereka merasa hidup sejajar dengan gemerlapnya kaum New Yorker. Satu setengah generasi muda Korsel enggan menolong Korut.
Kendati demikian, bagi Gloria yang terpenting adalah keluar dari kehidupannya di masa lampau.
Masa lalunya bagaikan mimpi buruk, dan dia tak mungkin kembali ke Korut, tak bisa mengontak keluarga atau siapapun yang ia pernah kenal.
Dahulu, ia memakai baju tradisional, feminin, dan makan makanan Korea yang sederhana. Waktu luangnya dihabiskan dengan bermain lompat tali bersama kawan sekelasnya.
Di SMA, Gloria belajar mata pelajaran tradisional, seperti sejara Korea -- yang diedit parah rezim, matematika dan melukis.
Mereka diajarkan bahwa orang Barat, terutama orang Amerika Serikat jelek. Sekarang, Gloria berharap ia bisa menjejakkan kakinya ke Paman Sam, belajar di sana.
"Di Korut, hidup kami diawasi pemerintah. Tak bisa kita berkata apapun tentang Kim Jong-un," katanya.
Kini Gloria dan Jenny mulai beradaptasi berasimilasi dengan dunia luar. Namun, ketika ditanya apa yang paling mereka rindukan, seperti halnya perempuan muda lainnya mereka menjawab, "teman-temanku..."