Liputan6.com, Istanbul - Kudeta militer yang terjadi pada Jumat 15 Juli 2016 di Turki, menjadi sebuah pukulan bagi warga Turki yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan.
Kerusuhan tersebut menjadi salah satu contoh stabilitas yang menurun, dari sebuah negara yang beberapa tahun lalu pernah dipromosikan sebagai negara Islam percontohan, pemerintah demokratis dan kemakmuran ekonomi.
Namun, setelah 14 tahun Edorgan menjabat sebagai presiden, Turki kembali berada di ujung tanduk.
Advertisement
Pemerintah Turki kini sedang dihadapkan dengan dua pertempuran mematikan, ISIS dan kelompok Partai Buruh Kurdi atau dikenal juga dengan sebutan PKK, seperti dikutip dari CNN, Minggu (17/7/2016).
Bulan lalu, pemerintah menyalahkan kelompok teror ISIS, atas insiden tiga bom bunuh diri di Bandara Internasional Ataturk, Istanbul.
Sementara itu, perang gerilya antara militan Kurdi dan pemerintah Turki-- telah berlangsung selama 30 tahun -- mulai menyebar ke wilayah tenggara yang didominasi oleh Kurdi.
Masyarakat Turki berada di tengah-tengah pertentangan antara orang yang membenci dan menyukai Presiden Edorgan. Kekerasan yang terjadi, membuat industri pariwisata dan nilai mata uang menjadi korban.
Militer Turki telah berkali-kali melakukan kudeta, tercatat dari tahun 1960 hingga 2012. Namun, di awal 1920-an, di masa Mustafa Kemal Ataturk, orang-orang terdekat kebanyakan adalah militer.
Tentara Turki disebut-sebut 'jantung hati negeri' semenjak negeri itu berubah menjadi negara modern dan sekuler di bawah Ataturk.Â
Dilansir dari Vox, pengamat Timur Tengah  dari Columbia University, Richard Bulliet, mengatakan slogan Ataturk saat itu adalah, 'damai di rumah... dan damai di luar'.Â
"Itu sangat menunjukkan kepemimpinan diktator militer," ujar Bulliet.Â
Saat Turki ingin masuk ke NATO, mereka merasa struktur demokratik jauh lebih penting. Jadi, pada 1950, pemilu diadakan untuk pertama kalinya, dan tidak hanya diikuti oleh partai Ataturk, namun oleh oposisi Partai Demokrat. Namun, partai oposisi itu menang.Â
Parta Demokrat memiliki kekuatan di bagian timur, di mana banyak pendukung relijius.Â
"Dari situlah berawal bahwa banyak militer yang mayoritas sekuler merasa terdepak. Dan dari situlah awal kudeta dimulai..."Â
Turki dan Rangkaian Kudeta Militer
Dikutip dari ABC.net.au, kudeta pertama terjadi pada 1960, antara pejabat muda militer melawan Partai Demokrat. Pada saat itu, Â Perdana Menteri Adnan Manderes dan Presiden Celal Bayar menghentikan beberapa pembaruan di titik bandara Ataturk. Padahal Turki sedang berusaha memodernisasi wilayah, pada 1920 dan 1930-an.
Kedua orang berpengaruh Turki tersebut melihat pembaruan itu sebagai pelanggaran terhadap hukum Islam, masuknya kalender Barat, dan membuat para wanita enggan menggunakan jilbab.Â
Menanggapi hal tersebut, Manderes mengizinkan ribuan masjid untuk dibuka kembali dan mengesahkan azan dan doa dalam Bahasa Arab. Kendati demikian, pemerintahan berhasil diambil alih oleh militer.Â
Manderes, dan Presiden Bayar serta anggota kabinet ditahan. Pada 17 September, militer mengeksekusi mati Manderes.Â
Jenderal Camal Gursel menjadi presiden dan sekaligus perdana menteri hingga 1961.
Selang 10 tahun sejak insiden tersebut, kudeta militer kembali terjadi. Kali itu, pada 1971, krisis ekonomi melanda Turki pada akhir tahun 1960-an, mengakibatkan insiden yang dikenal dengan sebutan 'kudeta memorandum' terjadi. Tentara berhasil memimpin puncak pemerintahan.Â
Pada 1997, kembali terjadi kudeta militer setelah Partai Kesejahteraan Islam mendapat banyak dukungan dalam pemilu 1995 dan mendapatkan kekuasaan dalam koalisi pemerintah.
Gagal mengontrol kudeta militer, pemerintah saat itu tidak punya pilihan selain menyetujui beberapa tuntutan, termasuk melarang jilbab di universitas.
Kudeta terakhir terjadi -- sebelum insiden Jumat 15 Juli malam -- pada tahun 2012. Pengadilan Turki 'membersihkan' 236 anggota militer, diduga merencanakan penggulingan Edorgan saat menjadi PM pada 2003.
Kekerasan yang melibatkan tank, pesawat tempur, dan helikopter serang, akhir pekan ini di Istanbul dan Ankara, menunjukkan adanya ketidakpuasan dalam beberapa jajaran petinggi militer.Â
Insiden 'berdarah' itu bahkan memuat Presiden Edorgan berjanji, membersihkan militer dari para pengkhianat.Â
"Kita akan mempertahankan posisi hingga akhir dan semua tank ini akan kembali ke tempat asal," kata Edorgan.Â
Akhirnya, Edorgan berhasil mengontrol kekuasaan dan berhasil mengumpulkan dukungan.
Advertisement