China Larang Orang Miskin Naik Kereta dan Pesawat?

Mulai bulan Mei 2018, warga China yang taraf hidupnya di bawah rata-rata, dilarang keras bepergian menggunakan kereta dan pesawat.

oleh Afra Augesti diperbarui 17 Mar 2018, 21:00 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2018, 21:00 WIB
Stasiun KA Nantong
Foto yang diambil pada tanggal 23 Januari 2017 ini menunjukkan penjaga paramiliter China memantau penumpang, saat mereka menuju kereta untuk mudik ke kampung halaman jelang Tahun Baru Imlek di Stasiun Kereta Api Nantong, Jiangsu, Shanghai. (AFP)

Liputan6.com, Beijing - Mulai bulan Mei 2018, warga China yang berpangkat rendah dalam Sistem Kredit Sosial negara dilarang menggunakan pesawat dan kereta api selama satu tahun, demikian pengumuman dari Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional Tiongkok baru-baru ini.

Sistem Kredit Sosial (Social Credit System/SCS) merupakan gagasan pemerintah China untuk meninggikan reputasi Negeri Tirai Bambu. Tujuannya adalah untuk menetapkan peringkat "kredit sosial" kepada setiap warga negara berdasarkan status ekonomi dan sosial mereka.

Dengan SCS, pemerintah China tak hanya menilai warganya berdasarkan tindak kriminal dan kesalahan finansial yang pernah dilakukan, tetapi juga berdasarkan pada apa yang mereka beli, katakan, dan perbuat.

Mereka yang memiliki "nilai" rendah harus didenda dan dibatasi ruang geraknya, seperti dikutip dari The Verge, Sabtu (17/3/2018).

Sebelumnya, pemerintah China telah membatasi perjalanan orang-orang yang punya utang banyak, seperti pendiri LeEco dan Faraday Future, Jia Yueting, yang masuk dalam daftar hitam Mahkamah Agung akhir tahun lalu.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

China Larang Pertunjukan Tari Striptis di Pemakaman

China Larang Pertunjukan Tari Striptis di Pemakaman
Ilustrasi penari striptis. Foto diambil di kursus penari striptis di Prancis di "L'ecole des filles de joie" di La Bellevilloise, Paris. (BARBARA LABORDE / AFP)

Selain larangan tersebut, China sebelumnya menerapkan aturan peniadaan pertunjukan tari striptis pada prosesi pemakaman yang tengah tren. Meski bertujuan untuk menarik lebih banyak pelayat, sekaligus memamerkan kekayaan keluarga yang ditinggalkan.

Dilansir dari  Mirror.co.uk pada Rabu 21 Februari 2018, pertunjukan tari striptis telah mendapatkan popularitasnya dalam beberapa tahun terakhir. Bukan di kota besar, fenomena ini justru banyak terjadi di kawasan pedesaan, dan biasanya dilakukan oleh para orang kaya setempat.

Pemerintah China menerbitkan larangan terhadap praktik tari striptis pada proses pemakaman, karena menganggap hal itu ilegal dan berisiko merusak moral sosial.  

Kementerian Kebudayaan China mengatakan bahwa pihaknya akan menindak tegas praktik tari striptis, dan pertunjukan bernuansa vulgar lainnya, yang digelar di pemakaman, pernikahan, dan pertemuan umum tradisional lainnya.

Larangan tersebut sebelumnya pernah muncul dalam bentuk himbauan keras pada 2006 dan 2015, namun tidak begitu berhasil terlaksanya.

Pertunjukan vulgar di tengah masyarakat sempat menurun, tapi tidak berlangsung lama. Hal terkait kembali muncul seiring meningkatnya taraf ekonomi masyarakat China, sehingga membuatnya tampil sebagai 'lahan judi' untuk mempertaruhkan prestise antar keluarga.

Bagi warga yang berani melaporkan pertunjukan vulgar terkait kepada pihak kepolisian, akan mendapat imbalan finansial dari pemerintah China.

Jika kedapatan menggelar pertunjukan vulgar dalam prosesi komunal, pemerintah China akan menjatuhkan sanksi denda dan kerja sosial, di mana ditetapkan pada klasifikasi hukum, bukan peradilan.

Menurut Dr Marc L. Moskowitz, seorang profesor antropologi dari University of South Carolina, menjelaskan bahwa, secara psikologi, kematian dibagi menjadi dua jenis, yaitu kematian biologis dan kematian sosial.

Kematian biologis adalah saat jantung berhenti berdetak dan nyawa tidak ada lagi di dalam jasad fisik. Sedangkan kematian sosial adalah ritual yang digelar untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak lagi hidup.

Dalam beberapa kebudayaan, ritual kematian penuh dengan duka, kemurungan, pakaian serba hitam, atau sedu sedan.

Sementara dalam kebudayaan lainnya, kematian ditanggapi dengan pesta pora, makan-makan, atau mabuk-mabukan, merayakan merayakan kehidupan jenazah, bukan meratapi kematiannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Moskowitz di China dan Taiwan pada 1980-an, menunjukkan bahwa fenomena tari striptis di pemakaman bukanlah hal baru.

"Awalnya penari striptis hanya disewa untuk merayakan prosesi pemakaman anggota geng kriminal. Namun belakangan, juga dilakukan oleh warga kelas pekerja," jelas Moskowitz.

Praktik ini mulai populer di kalangan masyarakat China mulai sekitar tahun 1980-an. Saat itu, perekonomian mulai membaik, dan orang-orang kaya mulai kebanyakan uang, sehingga menghabiskannya untuk hal demikian.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya