Arab Saudi Siap Kirim Pasukan ke Suriah

Arab Saudi menyatakan bahwa sejak era pemerintahan Obama, pihaknya telah menawarkan diri untuk mengirim pasukan ke Suriah. Namun, ditolak.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 18 Apr 2018, 21:12 WIB
Diterbitkan 18 Apr 2018, 21:12 WIB
Ketika Pejuang Jaish Al-Izzah Suriah Pamer Ketangkangkasan
Pejuang dari Jaysh al-Izza (the Army of Glory) membentuk barisan saat melakukan latihan di kota Idlib, Suriah (9/4). Pejuang Jaish Al-Izzah merupakan bagian dari pasukan tentara pembebasan Suriah. (AFP/Omar Haj Kadour)

Liputan6.com, Riyadh - Arab Saudi mengatakan, pihaknya tengah berdiskusi dengan Amerika Serikat terkait pengiriman pasukan ke Suriah. Adapun Donald Trump menginginkan agar Amerika Serikat menarik pasukannya dari Suriah.

Seperti dikutip dari Washingtonpost.com pada Rabu, (18/4/2018), Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir mengatakan pada wartawan di Riyadh, pembahasan tentang jenis pasukan apa yang diperlukan di Suriah timur dan dari mana pasukannya akan berasal masih terus didiskusikan.

"Kami sedang berdiskusi dengan Amerika Serikat dan sejak awal krisis dimulai, kami telah merencanakan soal mengirim pasukan ke Suriah," terang Jubeir seraya menambahkan bahwa usulan untuk mendatangkan pasukan Arab Saudi ke Suriah telah diajukan sebelumnya ke pemerintahan Barack Obama, namun ditolak.

Donald Trump, dalam kesempatan terpisah mengatakan, pihaknya sedang berusaha membujuk negara-negara Teluk untuk mengambil alih beban stabilisasi keuangan dan militer di Suriah.

Sementara itu, Gedung Putih pada hari Senin menegaskan kembali bahwa Donald Trump masih pada prinsip ingin memulangkan pasukan Amerika Serikat dari Suriah. Itu membantah pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyatakan ia berhasil membujuk Donald Trump agar mempertahankan keberadaan militer Amerika Serikat dalam jangka panjang di Suriah.

Penasihat keamanan nasional Donald Trump yang baru, John Bolton, belum lama ini memanggil Kepala Intelijen Mesir, Abbas Kamel, untuk menanyakan apakah Kairo akan menyumbangkan pasukan dalam koalisi Arab untuk menggantikan pasukan Amerika Serikat di Suriah. Laporan ini dimuat the Wall Street Journal pada Senin, 16 April 2018, dengan mengutip pernyataan sejumlah pejabat Amerika Serikat.

Menanggapi laporan tersebut, Jubeir mengatakan bahwa dalam hal keuangan, Arab Saudi telah "selalu mempertahankan bagian dari bebannya".

Namun, membangun koalisi Arab dinilai akan menjadi tantangan tersendiri. Tidak jelas bagaimana Arab Saudi akan menindaklanjuti wacana pengiriman pasukan ini. Sementara, Riyadh dan Uni Emirat Arab sudah berkoalisi dalam perang saudara di Yaman.

Komentar terbaru dari Jubeir dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dinilai menunjukkan pergeseran posisi Arab Saudi di Suriah, menuju pada penerimaan bahwa Presiden Suriah Bashar al-Assad tidak akan digulingkan dari kekuasaan dalam waktu dekat.

"Bashar akan tetap berkuasa," kata Putra Mahkota baru-baru ini mengatakan kepada majalah Time.

Selama pertemuan perwakilan Liga Arab yang beranggotakan 22 orang minggu ini, Jubeir juga menekankan komitmen Arab Saudi untuk menjaga institusi Suriah tetap utuh.

 

Saksikan video pilihan berikut:

Mesir Dukung Rezim Bashar al-Assad?

Menyusuri Terowongan Pemberontak Suriah di Ghouta Timur
Penampakan terowongan yang sebelumnya digunakan oleh pemberontak di Jobar, Ghouta Timur, Senin, (2/4). (LOUAI BESHARA/AFP)

Mesir, sementara itu, dikabarkan diam-diam mendukung rezim Bashar al-Assad, meningkatkan keraguan tentang kesediaan Kairo untuk mengirimkan pasukannya.

Pemerintahan Presiden Abdel Fatah al-Sissi dilaporkan enggan mengirim pasukannya ke luar negeri. Sissi menolak permintaan Arab Saudi --sekutu dekatnya-- untuk menyokong posisi koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman.

Arab Saudi, bersama dengan Uni Emirat Arab dan sejumlah negara lain, selama bertahun-tahun lalu telah mengatakan bahwa mereka bersedia mengirim pasukan ke Suriah. Namun, sejauh ini tidak pernah terjadi.

Selama pemerintahan Barack Obama, Riyadh mengeluhkan bahwa Amerika Serikat memainkan peran yang terlalu sedikit.

Dengan gembar-gembor besar pada Desember 2015, Arab Saudi mengumumkan pembentukan "aliansi militer Islam," yang bermarkas di Riyadh, ini bertujuan untuk memerangi terorisme global.

Dalam sebuah konferensi pers, Pangeran Mohammed bin Salman, yang saat itu masih menjadi Wakil Putra Mahkota, mengatakan bahwa pasukan akan ditarik bersama-sama dari "seluruh dunia Islam" untuk dikerahkan saat diperlukan untuk memerangi terorisme. Nyatanya, kekuatan tersebut belum terwujud dalam cara yang berarti.

Dua bulan kemudian, di konferensi pers lainnya, pejabat dari militer Arab Saudi mengatakan "siap untuk berpartisipasi dalam operasi darat" di Suriah, menegaskan bahwa mereka akan berkontribusi pada upaya yang dipimpin oleh pasukan Amerika Serikat.

Sementara Arab Saudi telah melancarkan perang selama beberapa tahun di Yaman, kampanyenya sebagian besar dilakukan dari udara, dan Arab Saudi tidak melakukan sejumlah besar pasukan darat.

Trump belum mengklarifikasi apa yang dia cari dalam hal kontribusi keuangan dan militer dari negara-negara Teluk Persia untuk perang melawan ISIS di Suriah. Sekitar 2.000 pasukan AS di sana tidak berpartisipasi langsung dalam operasi tempur tetapi melatih dan mempersenjatai pasukan yang direkrut secara lokal, yang juga mereka pandu dan bantu dengan serangan udara dan intelijen.

Di bawah rencana stabilisasi untuk daerah-daerah yang dibebaskan dari para militan, Amerika Serikat telah mengorganisir operasi pembersihan ranjau dan rekonstruksi infrastruktur, serta bertugas sebagai penopang untuk menjaga pasukan-pasukan lain mengambil alih area-area yang telah dibuka.

Dalam percakapan telepon akhir tahun lalu, Trump meminta Raja Salman untuk membayar senilai US$ 4 miliar sebagai upaya stabilisasi di Suriah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya