Liputan6.com, Cambridge - Sebuah studi baru dari Harvard Medical School (HMS) mengklaim Virus Corona COVID-19 kemungkinan beredar di China pada awal Agustus 2019. Virus, yang secara luas diyakini berasal dari pasar satwa liar di Kota Wuhan, China, pertama kali dilaporkan ke WHO pada akhir Desember 2019.
"Namun, analisis lalu lintas rumah sakit dan data mesin pencari di Wuhan menunjukkan bahwa ada aktivitas awal penyakit pada musim gugur 2019," menurut para peneliti HMS seperti dikutip dari CNBC, Rabu (10/6/2020).
Baca Juga
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada Senin 8 Juni 2020 di server DASH Universitas Harvard, analis menggunakan gambar satelit dari tempat parkir di enam rumah sakit di Wuhan. Mereka menghitung jumlah kendaraan dan memperkirakan tren hunian rumah sakit.
Advertisement
Jumlah kendaraan tersebut kemudian dibandingkan dengan tren yang terlihat selama wabah penyakit seperti flu lainnya.
Makalah penelitian - yang belum ditinjau oleh rekan sejawat - juga menganalisis data dari mesin pencari China Baidu untuk menentukan perubahan dalam pencarian untuk istilah "batuk" dan "diare" antara April 2017 dan Mei 2020.
Lalu ditemukan bahwa antara 2018 dan 2020 ada kecenderungan naik secara umum dalam hunian rumah sakit - tetapi ada peningkatan tajam dalam hunian dari Agustus 2019, yang memuncak dengan puncaknya pada Desember 2019 (saat wabah awal Virus Corona COVID-19 diumumkan).
Para peneliti menemukan lima dari enam rumah sakit yang dimasukkan dalam analisis menunjukkan okupansi harian tertinggi mereka antara September dan Oktober 2019. Hal itu bertepatan dengan peningkatan tingkat pencarian Baidu untuk istilah "diare" dan "batuk."
"Volume pencarian untuk kedua istilah meningkat secara dramatis di kota itu sekitar tiga minggu sebelum lonjakan kasus COVID-19 yang dikonfirmasi pada awal 2020. Peningkatan lalu lintas rumah sakit dan data pencarian gejala (Virus Corona COVID-19) di Wuhan mendahului awal pandemi yang didokumentasikan pada Desember 2019," kata penulis penelitian.
"Meskipun kami tidak dapat mengkonfirmasi apakah peningkatan volume secara langsung terkait dengan virus jenis baru itu, bukti kami ini mendukung penelitian terbaru lainnya yang menunjukkan bahwa kemunculan (Corona COVID-19) terjadi sebelum identifikasi di pasar makanan laut Huanan."
Saksikan juga Video Berikut Ini:
Fitur Unik Virus Corona
Penulis laporan berpendapat bahwa temuan mereka mendukung teori bahwa COVID-19 sudah beredar sebelum wabah di Wuhan pertama kali didokumentasikan, seraya menambahkan bahwa virus itu mungkin bahkan menyebar secara internasional sebelum pihak berwenang China mendeteksi hal itu pada akhir 2019.
"Pada bulan Agustus, kami mengidentifikasi peningkatan unik dalam pencarian diare yang tidak terlihat pada musim flu sebelumnya atau tercermin dalam data pencarian batuk,” kata tim peneliti.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mencantumkan batuk dan diare sebagai gejala potensial Corona COVID-19. Tim peneliti HMS menggambarkan gejala gastrointestinal sebagai "fitur unik" dari Virus SARS-CoV-2 dan salah satu yang bisa jadi keluhan utama bagi sejumlah pasien bergejala.
"Peningkatan pencarian gejala ini kemudian diikuti oleh peningkatan lalu lintas tempat parkir rumah sakit pada bulan Oktober dan November, serta peningkatan pencarian batuk," tambah penulis laporan.
"Walaupun kami tidak dapat menyimpulkan alasan peningkatan ini, kami berhipotesis bahwa penularan di masyarakat luas mungkin mengarah pada kasus yang lebih akut yang memerlukan perhatian medis, menghasilkan viral load yang lebih tinggi dan gejala yang lebih buruk."
Para peneliti mencatat bahwa ada beberapa batasan dalam menggunakan data pencarian satelit dan Baidu, seperti gangguan visibilitas dari cuaca buruk, memperoleh data dari perusahaan satelit China dan tidak mengetahui maksud dari pencarian web individu.
Advertisement
China Hadapi Kritik
China tengah menghadapi kritik atas penanganan awal wabahnya, termasuk tuduhan bahwa negara tersebut menahan informasi penting dari WHO dan menunda melaporkan jenis baru Virus Corona kepada organisasi tersebut.
Pada April, otoritas Wuhan merevisi angka kematian kota dari COVID-19 hingga 50% setelah "penyelidikan di seluruh kota."
Meskipun pemimpin China, Xi Jinping berpendapat negara itu bertindak dengan transparansi sepanjang krisis, negara tersebut menolak mematuhi penyelidikan WHO terhadap penanganan global pandemi ini.
Duta Besar Tiongkok untuk Inggris mengatakan kepada Sky News bulan lalu bahwa China akan mengizinkan penyelidikan atas wabah - "tetapi tidak sekarang."