Liputan6.com, Colombo - Sri Lanka yang dilanda krisis meminta China untuk merestrukturisasi pembayaran utangnya sebagai bagian dari upaya untuk membantu negara di Asia Selatan itu mengatasi situasi keuangannya yang memburuk.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengajukan permintaan tersebut dalam pertemuan dengan menteri luar negeri China Wang Yi pada Minggu (9/1).
Dalam dekade terakhir, China telah meminjamkan Sri Lanka lebih dari USD 5 miliar untuk proyek-proyek termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.
Advertisement
Baca Juga
Tetapi para kritikus mengatakan, uang itu digunakan untuk skema yang tidak perlu dengan pengembalian rendah, demikian dikutip dari laman BBC, Senin (10/1/2021).
"Presiden menyatakan bahwa akan sangat melegakan negara jika perhatian dapat diberikan pada restrukturisasi pembayaran utang sebagai solusi atas krisis ekonomi yang muncul dalam menghadapi pandemi COVID-19," kata pigak Rajapaksa.
Pernyataan itu juga mengatakan, China diminta untuk memberikan persyaratan "konsesi" untuk ekspornya ke Sri Lanka, yang berjumlah sekitar USD 3,5 miliar tahun lalu, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Rajapaksa juga menawarkan untuk mengizinkan turis Tiongkok kembali ke Sri Lanka asalkan mereka mematuhi peraturan Virus Corona COVID-19 yang ketat.
Sebelum pandemi, China adalah sumber utama turis Sri Lanka dan mengimpor lebih banyak barang dari China daripada dari negara lain mana pun.
Dalam beberapa bulan terakhir, Sri Lanka telah mengalami krisis utang dan valuta asing yang parah, yang diperburuk oleh hilangnya pendapatan turis selama pandemi.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Posisi China di Sri Lanka
China adalah pemberi pinjaman terbesar keempat Sri Lanka, di belakang pasar keuangan internasional, Bank Pembangunan Asia dan Jepang.
Negara itu telah menerima miliaran dolar pinjaman lunak dari China tetapi negara itu telah dilanda krisis valuta asing yang menurut beberapa analis telah mendorongnya ke ambang default.
Sri Lanka harus membayar utang sekitar USD 4,5 miliar tahun ini dimulai dengan obligasi pemerintah internasional senilai USD 500 juta, yang jatuh tempo pada 18 Januari mendatang.
Bank sentral negara itu telah berulang kali meyakinkan investor bahwa semua pembayaran utang akan dipenuhi dan dana untuk pembayaran obligasi bulan ini telah dialokasikan.
Sri Lanka adalah bagian penting dari China's Belt and Road Initiative, sebuah rencana jangka panjang untuk mendanai dan membangun infrastruktur yang menghubungkan China dengan seluruh dunia.
Namun, beberapa negara, termasuk AS, telah menyebut proyek itu sebagai "jebakan utang" untuk negara-negara yang lebih kecil dan lebih miskin.
Beijing selalu menolak tuduhan itu, dan sebagai tanggapan menuduh beberapa orang di Barat mempromosikan narasi ini untuk menodai citranya.
Pada September 2021, Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat ekonomi, setelah penurunan tajam nilai mata uangnya, rupee, menyebabkan lonjakan harga pangan.
Pihak berwenang mengatakan, mereka akan mengendalikan pasokan bahan makanan pokok, termasuk beras dan gula, dan menetapkan harga dalam upaya mengendalikan kenaikan inflasi.
Advertisement