Netanyahu Balas Ancaman Biden: Israel Akan Berdiri Sendiri, Jika Perlu Berperang dengan Kuku

Amerika Serikat telah berulang kali mendesak Israel untuk tidak menginvasi Rafah, yang menjadi tumpuan tersisa bagi warga Jalur Gaza dan penting bagi pasokan bantuan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 10 Mei 2024, 07:07 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2024, 07:07 WIB
Benjamin Netanyahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AP)

Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan pada hari Kamis (9/5/2024), ancaman Amerika Serikat (AS) untuk menahan pengiriman sejumlah senjata tidak akan menghalangi Israel melanjutkan serangannya di Jalur Gaza. Pernyataan Netanyahu dapat mengindikasikan bahwa Israel akan melanjutkan invasi ke Kota Rafah yang padat penduduk, bertentangan dengan keinginan AS sebagai sekutu terdekatnya.

Presiden Joe Biden telah mendesak Israel untuk tidak melanjutkan operasi semacam itu karena khawatir akan memperburuk bencana kemanusiaan di Jalur Gaza. Pada hari Rabu (8/5), dia mengatakan AS tidak akan menyediakan senjata ofensif untuk serangan terhadap Rafah, sehingga meningkatkan tekanan pada Netanyahu.

"Jika kami harus berdiri sendiri, kami akan berdiri sendiri. Jika perlu, kami akan bertarung dengan kuku. Tapi, kami punya lebih dari sekadar kuku," tutur Netanyahu, seperti dirilis kantor berita AP, Jumat (10/5).

Juru bicara utama militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari dinilai juga meremehkan ancaman Biden.

"Pasukan memiliki amunisi untuk misi yang direncanakannya dan juga untuk misi di Rafah – kami memiliki apa yang kami butuhkan," kata dia.

Israel telah berulang kali mengancam akan menyerang Rafah, tempat sekitar 1,3 juta orang – lebih dari separuh populasi Jalur Gaza – mencari perlindungan. Kota di selatan Jalur Gaza itu pula merupakan pusat utama operasi kemanusiaan, yang sangat terhambat oleh penutupan dua jalur penyeberangan Utama ke Jalur Gaza pada minggu ini.

Israel mengatakan Rafah adalah benteng terakhir Hamas dan militernya harus masuk jika ingin membubarkan kelompok tersebut dan memulangkan sejumlah sandera yang diculik dalam serangan 7 Oktober 2023, yang memicu perang saat ini.

Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir, seorang politikus sayap kanan, turut merespons ancaman Biden dengan menulis di platform X alias Twitter, "Hamas ❤️Biden."

Ben-Gvir dan anggota koalisi Netanyahu yang ultra-nasionalis mendukung operasi besar-besaran ke Rafah dan mengancam akan menjatuhkan pemerintahannya jika hal itu tidak terjadi.

Gencatan Senjata Belum Jelas Nasibnya

Jalur Gaza
Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berkumpul di sebuah kamp tenda di Rafah, Jalur Gaza selatan, Senin (4/12/2023). Ratusan ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka ketika Israel melancarkan serangan darat terhadap kelompok militan Hamas yang berkuasa. (AP Photo/Fatima Shbair)

Kelompok bantuan kemanusiaan mengatakan invasi Rafah akan menjadi bencana besar. PBB telah memperingatkan bahwa sebagian besar dari 2,3 juta warga Palestina di Jalur Gaza menderita kelaparan dan bagian Gaza Utara sendiri sudah mengalami kelaparan besar-besaran.

Selain itu, situasi saat ini juga memperumit upaya AS, Qatar, dan Mesir selama berbulan-bulan untuk menengahi gencatan senjata dan pembebasan sandera. Hamas pekan ini mengatakan mereka telah menerima proposal gencatan senjata Mesir-Qatar, namun Israel mengatakan proposal tersebut tidak memenuhi tuntutan "inti" mereka. Pembicaraan lanjutan selama beberapa hari dilaporkan berakhir tidak meyakinkan pada hari Kamis.

Perang di Jalur Gaza dimulai dengan serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober, yang diklaim menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan 250 orang lainnya disandera. Kelompok militan Palestina disebut masih menyandera sekitar 100 orang, sementara sisanya berhasil dibebaskan.

Sejak saat itu pula Israel membombardir Jalur Gaza, yang disebut otoritas setempat menewaskan lebih dari 34.800 warga Palestina, di mana sebagian besar perempuan dan anak-anak. Serangan Israel, yang dilancarkan dengan amunisi yang dipasok AS, telah menyebabkan kehancuran luas dan memaksa sekitar 80 persen penduduk Jalur Gaza meninggalkan rumah mereka.

Operasi Kemanusiaan Terancam

Jalur Gaza Palestina
Rumah sakit nyaris kehabisan bahan bakar dan diperkirakan hanya bertahan beberapa hari saja. (AP Photo/Fatima Shbair)

Dalam perkembangan lainnya, operasi terbatas yang diluncurkan Israel pada Selasa (7/5), di mana sebuah brigade tank merebut sisi Jalur Gaza perbatasan Rafah dengan Mesir, telah membuat operasi kemanusiaan berada dalam krisis.

Israel menutup pintu masuk utama bahan bakar itu dan tidak jelas akan membukanya kembali. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan mereka hanya memiliki persediaan yang cukup untuk menjalankan operasi selama beberapa hari dan telah mulai melakukan penjatahan.

Di lain sisi, Israel memang membuka kembali sisi penyeberangan Kerem Shalom – terminal kargo Utama Jalur Gaza – setelah serangan roket yang menewaskan tiga prajurit mereka pada akhir pekan lalu, namun UNRWA yang merupakan penyedia bantuan utama di Jalur Gaza menggarisbawahi bahwa bantuan tidak dapat disalurkan ke pihak Palestina karena situasi keamanan.

Jalur yang baru dibuka kembali di wilayah Gaza Utara masih berfungsi, namun hanya 60 truk yang masuk pada hari Selasa, jauh di bawah 500 truk yang memasuki Gaza setiap hari sebelum perang.

Sementara itu, juru bicara Pentagon Mayor Pete Nguyen menuturkan pada hari Kamis, "Dalam beberapa hari mendatang, AS akan memulai upaya yang didukung komunitas internasional untuk memperluas pengiriman bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Jalur Gaza dengan menggunakan dermaga terapung."

Mengutip VOA Indonesia, dermaga terapung di Jalur Gaza mulai dibangun AS sejak bulan lalu. Tujuannya untuk meningkatkan pengiriman bantuan kemanusiaan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya