Liputan6.com, Jakarta Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI, dokter spesialis kedokteran jiwa Fidiansjah menargetkan mengurangi angka orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang telantar.
“ODGJ kita perhatikan, diberi obat, dan tidak ditelantarkan. Targetnya diobati dan diberi pelayanan," kata Fidi mengutip rilis Sehat Negeriku.
Baca Juga
Terkait upaya mengurangi jumlah ODGJ telantar, Kemenkes telah menekankan pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Ada 12 indikator, salah satunya adalah setiap ODGJ berat mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar.
Advertisement
“Setiap Pemda harus menyiapkan pelayanan ODGJ dan memberikan pelayanan sesuai standar,” ucap Fidi.
Tak hanya SPM, di level puskesmas, pelayanan ODGJ telah masuk ke dalam indikator Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PISPK), antara lain gangguan jiwa berat tidak ditelantarkan.
“Setiap wilayah kerja puskesmas jika terdapat ODGJ harus diobati dan tak boleh ditelantarkan,” kata Fidi.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Stigma Menempel pada ODGJ
Tidak seperti penyakit fisik yang bisa terlihat, tanda-tanda gangguan jiwa itu abstrak. Namun, ada tiga komponen untuk mengetahui ODGJ. Pertama pikiran dan isinya, kedua perasaan, hal ini dapat dilihat dari ekspresi wajah, dan ketiga perilaku.
Sayangnya, stigma yang menempel pada ODGJ masih tinggi. Misalnya, ketika berobat ke rumah sakit umum tidak mendapatkan stigma tapi ketika ke rumah sakit jiwa dapat stigma.
"Ketika mereka (ODGJ) beribat ke rumah sakit jiwa dibandingkan dengan RS Umum (RSU) akan beda. Ketika ODGJ berobat ke RSU tak ada stigma negatif, tapi kalau ke RS Jiwa malah muncul stigma negatif,” kata Fidi.
Advertisement