Liputan6.com, Jakarta - DPR menunda pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang. Dalam pembahasan di rapat paripurna, belum semua fraksi setuju Perppu tersebut dijadikan UU atas sejumlah alasan.
"Kesepakatan lobi pimpinan fraksi dan pimpinan sidang, kami beri kesempatan pemerintah untuk melengkapi hasil pembahasan tingkat satu dari pimpinan pansus dan kami akan agendakan kembali pada persidangan yang akan datang," ujar Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang menjadi pimpinan sidang di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (23/8/2016).
Baca Juga
Ia meyakini tak ada fraksi yang tidak setuju jika Perppu tersebut disahkan menjadi UU, namun hanya perlu kehati-hatian agar UU tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat.
Advertisement
Mekanisme voting, kata Taufik, juga dianggap tak elok karena akan mengesankan ada pertentangan. Padahal, pertentangan yang ada hanyalah berkaitan dengan kurang lengkapnya rincian dalam pasal-pasal yang ada.
"Kalau setuju ya setuju. Tolak ya tolak. Jangan sampai ini jadi seolah ada pertentangan," ujar dia.
Pembahasan sempat berlangsung alot. Taufik sebagai pimpinan sidang memanggil perwakilan fraksi untuk melakukan lobi dengan pimpinan DPR untuk menentukan keputusan. Berdasarkan hasil kesepakatan, DPR pun menunda pengesahan Perppu tersebut menjadi UU.
Salah satu fraksi yang masih tidak setuju Perppu tersebut menjadi UU adalah Fraksi Partai Gerindra. Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo memberikan sejumlah catatan, meski sebetulnya partai tersebut setuju bahwa hukuman terhadap kejahatan seksual harus maksimal.
"Ada beberapa catatan dan bisa menjadi kekurangan yang cukup fatal kalau tidak diperbaiki," ucap Rahayu.
Salah satu catatan tersebut, lanjut dia, berkaitan dengan implementasi hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual dan anggarannya. Dia khawatir regulasi yang ditujukan untuk mencari solusi tersebut justru salah sasaran.
"Hukuman kebiri kimiawi diberikan setelah terpidana menyelesaikan hukuman pokok. Setelah keluar lapas. Pertanyaannya, apakah pelaku akan berkeliaran di masyarakat selama menjalani hukuman atau di tempat rehabilitasi? Kalau di tempat rehabilitasi, berapa biaya yang harus dikeluarkan?" papar Rahayu.
"Kalau ada satgas khusus yang tugasnya memaksa dosis (suntikan kebiri kimiawi) yang harus diberikan, berapa biayanya? Bagaimana pula pemerintah menjamin chip yang ditanamkan tidak dikeluarkan paksa oleh pelaku atau oleh tenaga medis yang dipaksa oleh pelaku?" sambung dia.
Sementara anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Ammy Amalia Fatma Surya menginginkan tidak ada prosedur yang dilanggar dalam proses pengesahan UU tersebut.
Di mana, kata dia, Perppu yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada akhir Mei 2016, seharusnya diajukan ke DPR pada masa sidang sekarang, bukan pada masa sidang lalu.
"Untuk menghindari missprocedure, saya mengusulkan untuk pengambilan keputusan terhadap Perppu ini lebih baik ditunda," tutur Ammy.
Komisi VIII DPR pada Juli lalu sepakat untuk membawa Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak ke rapat paripurna. Tujuh fraksi setuju agar Perppu itu menjadi UU. Sedangkan tiga fraksi belum menyatakan sikap. Tiga fraksi itu adalah Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.