Liputan6.com, Jakarta - Seratus hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi perbincangan hangat di ruang digital. Laporan Social Media Lens on Prabowo’s First 100 Days yang dirilis CARMA Media Analysis and Intelligence dan ditulis oleh Divika Jethmal di Asian Times menunjukkan perubahan cepat dalam persepsi publik—dari yang awalnya optimistis, menjadi semakin kritis.
Dalam pandangan sosiologi politik, hal ini menggambarkan dinamika baru tentang bagaimana legitimasi kekuasaan dibentuk dan diuji di era media sosial.
Advertisement
Baca Juga
Ruang digital kini menjadi forum publik virtual tempat masyarakat menyuarakan harapan, kegelisahan, dan kritik secara langsung. Habermas menyebut ruang publik sebagai indikator penting dari demokrasi yang sehat, karena memungkinkan pertukaran gagasan secara terbuka.
Advertisement
Oleh karena itu, kritik publik terhadap kebijakan Prabowo melalui media sosial bukan sekadar reaksi spontan, melainkan refleksi dari ekspektasi masyarakat terhadap kepemimpinan yang dijanjikan.
Sentimen Negatif dan Ketidaksesuaian Harapan
Beberapa faktor yang terpantau dalam riset CARMA menjadi penyebab bergesernya sentimen publik. Ekspektasi besar terhadap perubahan ekonomi yang nyata belum sepenuhnya terealisasi.
Di sisi lain, kedekatan Prabowo dengan pemerintahan sebelumnya yang masih lekat dengan politik dinasti, oligarki, dan masuk dalam tokoh paling korup dunia versi OCCRP, menimbulkan kesan bahwa arah kebijakan belum benar-benar membawa pembaruan.
Jika dilihat dari teori struktural fungsionalisme, seorang pemimpin diharapkan menjaga keseimbangan dalam sistem sosial. Ketika janji-janji politik tidak diiringi dengan kebijakan konkret yang dirasakan publik, ketimpangan akan muncul. Dalam konteks ini, kritik yang muncul di media sosial dapat dibaca sebagai reaksi terhadap ketidaksesuaian tersebut.
Beberapa kontroversi yang tercermin dalam laporan ini—seperti kasus Thomas Lembong, polemik Gus Miftah, serta pembatalan pameran seni Yos Suprapto—memperkuat persepsi bahwa respons pemerintah terhadap kritik belum menunjukkan keterbukaan. Hal ini turut memengaruhi persepsi publik tentang arah demokrasi dan kebebasan berekspresi di bawah pemerintahan baru.
Komunikasi Politik di Era Digital
Setiap keputusan politik kini tak hanya dinilai lewat media arus utama, tetapi juga oleh publik yang aktif di media sosial. Komunikasi yang bersifat satu arah dan kaku tidak lagi memadai. Pemerintah perlu memahami bahwa komunikasi di era digital membutuhkan pendekatan yang lebih luwes, responsif, dan mengedepankan dialog.
Secara sosiologis, hubungan antara negara dan warga negara semakin bersifat timbal balik. Artinya, selain menyampaikan kebijakan, pemerintah juga perlu mendengar dan merespons aspirasi publik secara tulus. Komunikasi yang partisipatif dapat memperkuat legitimasi serta membangun kembali kepercayaan yang mulai terkikis.
Â
Risiko Global dari Sentimen Negatif
Isu yang berkembang di dalam negeri juga berpotensi berdampak pada posisi Indonesia di kancah internasional. Pengalaman negara lain, seperti Brasil di bawah Bolsonaro dan Filipina di masa Duterte, menunjukkan bahwa gelombang kritik daring bisa memengaruhi persepsi internasional, termasuk dalam hal diplomasi dan investasi.
Dalam konteks global, persepsi negatif terhadap kepemimpinan Prabowo bisa memengaruhi minat investor asing, kerja sama strategis, hingga citra Indonesia secara umum. Studi dalam Equivalent: Journal of Economic, Accounting and Management mencatat bahwa negara berkembang yang bergantung pada modal asing sangat rentan terhadap gejolak ekonomi ketika komunikasi pemerintah dianggap tidak stabil. Ketidakpastian ini dapat memicu penurunan nilai tukar, meningkatnya inflasi, hingga krisis kepercayaan pasar.
Strategi Komunikasi yang Lebih Relevan
Agar tidak terjebak dalam pusaran kritik digital, pemerintah perlu memperkuat pendekatan komunikasinya. Beberapa langkah berikut dapat menjadi pertimbangan:
1.    Transparansi dan Akuntabilitas
Pemerintah perlu menyampaikan kebijakan dan hasilnya secara terbuka. Fakta dan data dari lapangan akan memperkuat narasi positif dan menangkal disinformasi.
2.    Narasi yang Jelas dan Konsisten
Setiap kebijakan perlu dijelaskan dalam konteks visi jangka panjang pemerintah. Narasi yang kuat dan terarah akan menghindarkan publik dari kebingungan.
3.    Media Sosial sebagai Ruang Dialog
Gunakan platform digital untuk berinteraksi, bukan hanya menyampaikan informasi. Diskusi daring atau sesi tanya jawab dapat menjadi jembatan antara rakyat dan pengambil kebijakan.
4.    Respons Krisis yang Empatik
Dalam menghadapi isu sensitif, pemerintah sebaiknya merespons dengan pendekatan yang manusiawi dan cepat, bukan defensif.
5.    Kolaborasi dengan Pihak Independen
Libatkan akademisi, komunitas, dan tokoh digital yang kredibel untuk menyampaikan narasi kebijakan secara lebih inklusif dan terpercaya.
Refleksi untuk Komunikasi Program MBG
Temuan dari riset ini juga relevan untuk evaluasi komunikasi Program Makan Bergizi (MBG). Berdasarkan catatan tim Reputasia, ada beberapa area yang dapat diperkuat:
1. Performance Frame: Niat untuk menonjolkan keberhasilan program MBG seperti menyelesaikan stunting dan gizi buruk sangat baik, namun akan lebih kuat jika disertai data lapangan, survei awal, atau testimoni penerima manfaat.
2. Benefits Frame: Manfaat program untuk sektor seperti petani dan UMKM akan lebih hidup jika dibarengi kisah nyata dari lapangan—misalnya, cerita petani dari desa yang terbantu dengan keberadaan MBG.
3. Gaya Komunikasi yang Menyentuh: Format komunikasi yang menyentuh, seperti reportase dari dapur sekolah atau rumah penerima manfaat, jauh lebih membumi dibanding penyajian studio yang formal.
Upaya memperkuat komunikasi MBG ini mencerminkan prinsip yang sama: bahwa pesan publik yang berhasil harus berbasis data, membumi, dan menyentuh sisi emosional masyarakat.
Evaluasi terhadap seratus hari awal pemerintahan Prabowo menunjukkan bahwa kekuatan media sosial tidak bisa dipandang sebelah mata.
Respons publik yang cepat dan luas di ruang digital perlu dijadikan pijakan dalam membangun strategi komunikasi yang inklusif dan adaptif. Jika dikelola dengan bijak, kritik publik bisa menjadi bahan perbaikan; namun jika diabaikan, bisa berubah menjadi krisis legitimasi.
Di era digital, keberhasilan pemerintahan tidak hanya diukur dari kebijakan yang dibuat, tetapi juga dari seberapa efektif kebijakan tersebut dikomunikasikan dan diterima oleh publik yang semakin kritis dan partisipatif.
Metodologi Riset CARMA Media Analysis and Intelligence
Laporan CARMA mengumpulkan dan menganalisis konten unggahan dengan tingkat keterlibatan tinggi dari media sosial utama seperti Twitter, Reddit, dan Facebook.
Parameter yang digunakan mencakup volume percakapan, interaksi, serta sentimen pengguna. Dengan pendekatan ini, CARMA memberikan potret komprehensif mengenai dinamika opini publik terhadap pemerintahan Prabowo selama seratus hari pertama.
Penulis: Fardila Astari/ Measurement and Strategic Communications Expert/ Reputasia Strategic Communications Consulting dan Mahasiswa Doktoral Sosiologi, Universitas Indonesia
Â
Advertisement
