Liputan6.com, Jakarta - PT Bahana Sekuritas menilai Bank Indonesia (BI) sebaiknya pertahankan suku bunga acuan melihat perkembangan yang ada di dalam negeri serta faktor global. Bank Indonesia mengadakan rapat dewan gubernur (RDG) selama dua hari pada 19-20 Juli 2017.
Kekhawatiran atas tekanan harga pangan saat bulan puasa hingga Lebaran sudah tidak lagi menjadi hal yang mengerikan bagi Indonesia. Lantaran Presiden Joko Widodo bersama dengan para menteri sudah mengantisipasi ancaman ini jauh-jauh hari, alhasil kenaikan harga bahan-bahan pokok seperti yang biasa terjadi misalnya melambungnya harga daging tidak terjadi dalam bulan lalu, begitu juga kenaikan harga barang lainnya masih dalam batas yang wajar.
Tak heran pada Juni lalu, angka inflasi tercatat sebesar 0,69 persen, terutama disumbang oleh kenaikan ongkos transport, secara tahunan inflasi tercatat sebesar 4,37 persen.
Advertisement
Baca Juga
Angka inflasi sepanjang paruh pertama tahun ini Januari hingga Juni baru tercatat sebesar 2,38 persen, sedangkan target pemerintah dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 tercatat sebesar 4,3 persen dari target sebelumnya sebesar 4 persen.
"Mengingat masih terus terjaganya keseimbangan dalam perekonomian baik internal yakni terkendalinya inflasi serta sisi eksternal yang tercermin pada neraca perdagangan yang masih surplus, tidak ada alasan yang kuat untuk mengubah suku bunga di level yang ada sekarang," kata Ekonom Bahana Sekuritas Fakhrul Fulvian dalam keterangan tertulis, Kamis (20/7/2017).
Bank sentral telah mempertahankan suku bunga acuan tidak berubah di level 4,75 persen sejak November tahun lalu, untuk menjaga daya beli dan mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen sepanjang 2017. Ini seiring dengan membaiknya harga komoditas global yang memberi dampak positif terhadap kinerja ekspor. Meski pada Juni lalu, kegiatan ekspor dan impor turun karena bulan puasa dan menjelang Lebaran.
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan total ekspor turun sebesar 11,82 persen secara tahunan dengan nilai U$ 11,64 miliar, hal yang sama terjadi pada impor yang turun sebesar 17,21 persen dibanding periode yang sama tahun lalu dengan nilai U$ 10,01 miliar, sehingga neraca perdagangan masih mencatat surplus sebesar U$1,63 miliar.
Selama periode Januari-Juni, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sebesar U$ 7,63 miliar, angka ini hampir naik dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar U$ 4,13 miliar.
"Penurunan ekspor pada Juni lalu hanya sementara karena libur Lebaran yang lebih panjang, secara keseluruhan kinerja ekspor masih memperlihatkan kinerja positif, yang tercermin pada masih tingginya surplus neraca perdagangan," terang Fakhrul.
Dengan masih terjaganya keseimbangan eksternal dan internal, Fakhrul menilai bank sentral akan lebih memantau transmisi kebijakan moneter yang ada terhadap sektor keuangan khususnya perbankan yang tercermin pada angka pertumbuhan kredit, sementara itu, dengan melihat kondisi inflasi yang lebih lemah dari perkiraan semula di negara-negara maju akan membuat BI sedikit lebih dovish.
Â
Â
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Â
Â