Revisi PP 52/53 dan Penurunan Interkoneksi Picu Perang Tarif

Dengan adanya perang tarif, konsumen akan mendapatkan harga lebih murah dari penyelenggara jasa telekomunikasi, tapi...

oleh Iskandar diperbarui 07 Okt 2016, 11:00 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2016, 11:00 WIB
BTS
Ilustrasi BTS (ittelecomdigest.com)

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 dan Nomor 53 Tahun 2000, terutama yang terkait dengan interkoneksi dan network sharing, sepertinya kembali memicu perang tarif antar-operator seluler di luar Jawa.

Setelah Indosat Ooredoo menurunkan tarif telepon ke semua operator sejak pertengahan 2016, kini XL Axiata mengikuti jejak rival terberatnya itu.

Tepatnya, Indosat memasang tarif pembicaraan antar-operator dengan program Rp 1 per detik, sementara XL baru-baru ini mengeluarkan program Rp 59 per menit untuk telepon semua operator.

Meski perang tarif ini hanya berlaku di luar Jawa, Leonardo Henry Gavaza CFA, analis saham PT Bahana Securities mengatakan, hal ini dipastikan akan membuat margin operator yang sudah kecil akan semakin menipis.

Program yang dilakukan Indosat dan XL tersebut dinilai Leonardo memiliki kemiripan dengan banting harga jasa telepon yang pernah dilakukan operator telekomunikasi pada 2007 dan 2008.

Dahulu, katanya, adu murah hanya di level on-net (dalam satu operator), namun kini sudah menjalar ke off-net (beda operator).

“Perang tarif ini cepat atau lambat akan dilakukan oleh Indosat dan XL. Memang tujuan Menkominfo melakukan revisi PP 52/53 tahun 2000 ini adalah untuk menciptakan kompetisi dan persaingan harga," kata Leonardo melalui keterangan tertulisnya, Jumat (7/10/2016) di Jakarta.

Jadi, tambahnya, revisi 52/53 tahun 2000 dan penurunan biaya interkoneksi memang ditujukan untuk men-support kebijakan perang tarif Indosat dan XL.

Sementara Chief Economist Danareksa Research Institute, Kahlil Rowter menilai, perang tarif telekomunikasi yang dilakukan Indosat dan XL merupakan strategi untuk mendapatkan pelanggan baru di suatu wilayah.

Meski tarif murah ini sekilas akan menguntungkan konsumen, namun jika perang tarif terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan masif, Kahlil memastikan akan ada operator yang mengalami kerugian.

Bahkan tidak menutup kemungkinan akan ada operator telekomunikasi yang ‘gulung tikar’ akibat tak mampu bertahan di perang tarif.

Perang Tarif Untungkan Konsumen?

Dengan adanya perang tarif, konsumen akan mendapatkan harga yang lebih murah. Namun untuk jangka panjang, Kahlil pesimistis, konsumen akan diuntungkan dengan adanya perang tarif ini.

Operator yang melakukan perang harga akan kembali menaikkan harga untuk menutup kerugian mereka selama ini ketika menjalankan perang tarif.

Sebagai entitas bisnis yang mencari keuntungan, operator telekomunikasi harus menggembalikan dana yang dipergunakan untuk melakukan perang tarif tersebut.

Dengan kondisi seperti ini, nantinya harga layanan telekomunikasi dari operator yang melakukan perang tarif bisa menggalami kenaikan.

Menurut Kahlil, selain itu konsumen juga berpotensi mendapatkan harga yang jauh lebih mahal, dan berpotensi mendapatkan layanan komunikasi yang kurang andal.

Operator yang menjalankan perang tarif dinilai Kahlil kerap mengabaikan kualitas layanan telekomunikasinya. Misalnya, sering terjadi drop call atau terbatasnya coverage di suatu wilayah.

Kahlil berpendapat, saat ini yang dibutuhkan konsumen adalah harga telekomunikasi yang terjangkau dan stabil. Bukan harga yang murah-murahan yang nantinya justru akan mengorbankan kepentingan konsumen.

“Kesimpulannya, perang harga tidak otomatis menguntungkan konsumen. Justru bisa berpotensi memperdaya konsumen,” tutup Kahlil.

(Isk/Cas)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya