STT PLN Dorong Listrik Kerakyatan dengan Energi Terbarukan

STT PLN saat ini menilai sisten konvensional pembangkit listrik berpusat menghadapi kendala besar dalam pembangunannya.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 03 Apr 2017, 12:24 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2017, 12:24 WIB
Peluang Investasi EBT di Indonesia Semakin Terbuka Lebar
Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2017 membuat peluang investari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) semakin terbuka lebar.

Liputan6.com, Jakarta - Sekolah Tinggi Teknik PLN (STT PLN) memiliki gagasan listrik kerakyatan (LK) berupa perubahan pola pikir dalam mengelola ketenagalistrikan. Caranya dengan menghimpun dan memanfaatkan berbagai teknologi sederhana dan murah, yang cocok untuk dikelola oleh masyarakat awam.

Ketua STT PLN, Supriadi Legino ‎mengatakan, saat ini sistem konvensional pembangkit listrik terpusat menghadapi kendala besar dalam pembangunannya, karena memerlukan lahan yang sangat luas. Mulai dari untuk pembangkitnya sendiri, tapak tower dan ruang bebas jaringan transmisi yang terbentang mulai dari pembangkit sampai ke konsumen.

"Banyaknya waktu dan biaya, belum lagi kesulitan untuk mendapatkan lahan, baik untuk pembangkit maupun untuk ruang bebas transmisi menyebabkan banyak proyek pembangkitan terhambat," kata Supriadi, di Jakarta, Senin (3/4/2017).

Supriadi melanjutkan, melihat kondisi tersebut STT PLN, menginisiasi listrik kerakyatan berkapasitas 10 kilo Watt (kW)-100kW yang menggunakan bahan bakar bersumber dari energi terbarukan yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Angin bayu (PLTBayu) dan Pebangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Energi terbarukan ini berada di sekitar masyarakat dan bisa digunakan setiap saat.

"Listrik kerakyatan adalah salah satu bentuk implementasi tri dharma perguruan tinggi di bidang penelitian," ujar dia.

‎Secara konsep, implementasi listrik kerakyatan ini dapat berlangsung cepat dan serentak. Salah satu gagasan dari listrik kerakyatan adalah membuang sampah pada kawat listrik dan mengonversinya menjadi energi listrik.

Dasar dari gagasan ini adalah, pengelolaan sampah perkotaan merupakan salah satu bagian penting dalam pengembangan kota dan merupakan salah satu bentuk layanan publik.

Energi Biomassa dan biogas yang memiliki potensi sebesar 49,810 Mega Watt (MW), sementara jumlah pembangkit jenis ini masih sangat sedikit sehingga pemerintah sangat mendorong pihak swasta untuk mengembangkian pembangkit biomasa dan biogas ini.

Kapasitas TPA Bantar Gebang sendiri diprediksi hanya dapat menampung sampah DKI Jakarta hingga 2-3 tahun mendatang. Khusus untuk sampah organik, apabila tidak dikelola dan diolah dengan baik maka akan menghasilkan gas methan yang bila tidak dimanfaatkan menjadi energi akan merusak lapisan ozon 21 kali lebih kuat daripada CO2.

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, menyebutkan paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir (end of pipe) sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan sampah yang memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan.

Penelitian yang telah dilakukan oleh STT PLN telah berhasil membuktikan, ada dua produk dengan nilai ekonomi yang tinggi yang dapat dihasilkan oleh sampah, yaitu gas sampah dan bricket sampah. Jadi sumber dana listrik kerakyatan tidak harus dari APBN atau APBD , melainkan berasal dari modal mandiri dengan bantuan bank lokal dalam bentuk kredit murah dengan prosedur yang sederhana.

Listrik Kerakyatan

Manfaat ganda yang bisa dihasilkan apabila LK berkembang adalah pemerataan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di setiap lokasi di seluruh pelosok tanah air karena LK dapat menyerap banyak sekali tenaga kerja dan kebutuhan peralatan yang bisa dikerjakan di dalam negeri.

‎"Listrik kerakyatan ini tidak memerlukan biaya investasi pembangunan ketenagalistrikan maupun pendanaan yang besar dan sarat dengan persyaratan yang kompleks," ujar dia.

Dia menuturkan, listrik Kerakyatan bisa menjadi solusi untuk daerah terisolir yang tidak terjangkau oleh listrik pemerintah, juga dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dengan melistriki daerah terisolir seperti pulau-pulau terluar dan perbatasan yang sulit untuk dibangun pembangkit yang besar.

Model listrik kerakyatan memiliki unggulan, yang dapat memberikan berbagai manfaat listrik seperti dapat menahan laju defisit listrik dan melistriki daerah terpencil.

Untuk membangun pembangkit listrik kerakyatan yang terdiri dari PLTSu, PLTBayu, dan PLTSa dibutuhkan waktu yang jauh lebih singkat dibandingkan dengan pembangunan pembangkit konvensional seperti Pembangkit Listrik Tenaa Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)‎.

Waktu pembangunan listrik kerakyatan hampir sama dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) skala kecil yaitu sekitar 6-9 bulan, mulai dari perencanaan sampai dengan pengoperasian, karena lahan yang diperlukan listrik kerakyatan relatif kecil sehingga dapat menggunakan lahan umum misalnya tempat penumpukan sampah yang sudah ada.

Waktu pembangunan Listrik Kerakyatan yang relatif cepat, bisa menjadi alternatif untuk membantu pasokan untuk daerah yang mengalami defisit energi listrik, sambil menunggu selesainya pembangunan instalasi listrik besar yang memerlukan waktu lebih lama.

Selain itu listrik keraykatan tidak memerlukan studi yang rumit, karena menggunakan peralatan dan pembangkit yang sudah ada di pasar dan sudah pernah digunakan sebelumnya.

"Namun demikian, kita masih memerlukan waktu dan proses yang panjang agar konsep ini bisa diterima oleh para pengambil keputusan dalam sektor ketenagalistrikan baik dari pemerintah, PLN, maupun swasta," tutur Supriadi.

 

Tag Terkait

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya