Pelemahan Konsumsi Rumah Tangga Jadi Tantangan Ekonomi RI di 2018

Bank Indonesia (BI) mengungkapkan ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Indonesia pada 2018 dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 28 Des 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 28 Des 2017, 19:00 WIB
PHOTO: Permudah Layanan Belanja Untuk Sambut Natal dan Tahun Baru
Pengunjung berbelanja di pusat perbelanjaan di Plaza Semanggi, Jakarta,Jumat (8/12). Jelang perayan natal dan tahun baru banyak pusat perbelanjaan menawarkan berbagai prodak dan diskon akhir tahun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Indonesia pada 2018 dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tantangan ini datang dari luar dan dalam negeri.

Tantangan dalam negeri yang harus dihadapi pemerintah salah satunya adalah adalah mengenai konsumsi rumah tangga.

"Mengenai ekonomi domestik di 2018 yang perlu diwaspadai adalah sumbangsih konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi, karena ini grafiknya menurun," kata Gubernur BI, Agus DW Martowardojo di Gedung Bank Indonesia, Kamis (28/12/2017).

Dari data BPS, tercatat peran konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia setiap tahun menurun.

Pada 2013 tercatat angkanya di atas 3 persen. Namun setelah itu mengalami tren penurunan sampai pada akhirnya di kuartal III 2017 angkanya di bawah 2,8 persen.

"Ini harus menjadi perhatian mengingat Indonesia sebagai negara berkembang perlu peningkatan konsumsi rumah tangga ke depannya," tegas Agus.

Tak hanya itu, tantangan domestik lainnya, ujar Agus, yaitu mengenai keberlanjutan reformasi struktural oleh pemerintah. Reformasi struktural tersebut diantaranya di sektor infrastruktur, sumber daya manusia, instansi pemerintahan, dan meningkatkan inovasi.

Bank Indonesia sendiri, menargetkan pertumbuhan ekonomi Indoneisa pada 2018 akan ada di kisaran 5,1-5,5 persen. Hal itu ditopang dengan terjaganya angka inflasi yang juuga diperkirakan ada di kisaran 3,5 persen.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Perubahan konsumsi

Pusat Perbelanjaan Modern Kian Marak, Blok M Mal Ditinggal Pengunjung
Pedagang tas menunggu pembeli di Blok M Mal, Jakarta Selatan, Selasa (8/1). Menurun drastisnya pengunjung Mal Blok M sangat dirasakan pedagang. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa terjadi perubahan pola konsumsi dari masyarakat Indonesia. Konsumsi rumah tangga tetap tumbuh positif, meski agak melambat akibat pergeseran belanja tersebut.

"Saya agak kurang setuju dengan term menahan belanja karena dari analisa data, kami melihat beberapa hal," ujar Bambang di Jakarta, Jumat (15/12/2017).

Menurut Bambang, yang terjadi bukanlah menahan belanja, melainkan pengalihan pola konsumsi masyarakat. Dari datanya menunjukkan, pertumbuhan konsumsi untuk makanan di luar restoran masih cukup tinggi sekitar 5 persen. Hanya saja, konsumsi pakaian tumbuh rendah sekitar 2 persen.

"Tapi perlu dicatat perlambatan konsumsi di kuartal III-2017, salah satunya karena periode Lebaran yang beda. Tahun ini, Lebaran di kuartal II, tapi tahun lalu Lebaran di kuartal III. Akibatnya di kuartal III ini tidak ada Lebaran, sehingga pertumbuhan konsumsi pakaian relatif kecil," jelas Bambang.

Untuk diketahui, konsumsi rumah tangga di kuartal III-2017 tercatat tumbuh sebesar 4,93 persen. Sementara tahun lalu di periode yang sama dengan dorongan periode Lebaran, pertumbuhan konsumsi rumah tangga ‎sebesar 5,01 persen. Sedangkan di kuartal II-2017 di mana ada momen Lebaran, konsumsi tumbuh 4,95 persen.

Bambang lebih jauh menambahkan, ‎konsumsi masyarakat tersebut beralih ke jasa, kesehatan, pendidikan, dan rekreasi yang tumbuh menguat. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi restoran dan hotel tumbuh 5,52 persen di kuartal III-2017 dibanding periode sama 2016 sebesar 5,01 persen.

Konsumsi transportasi dan komunikasi mencapai pertumbuhan 5,86 persen di kuartal III ini, serta konsumsi kesehatan dan pendidikan tumbuh 5,36 persen di periode tersebut.

"Jadi artinya apa, ada pergeseran pola konsumsi dari sekedar barang menjadi barang dan jasa," tegas Bambang.

‎Alasan lain masyarakat dianggap tidak irit belanja, kata Bambang, ada pengalihan belanja dari ritel konvensional ke online serta impor barang konsumsi yang mengalami pertumbuhan dua digit. Data BPS menunjukkan impor barang konsumsi mengalami kenaikan signifikan 12,34 persen secara year on year pada September 2017.

‎"Itu ‎yang kemudian jadi pertanyaan, kalau konsumsi melambat kenapa impor barang konsumsi tinggi. Jadi ada peralihan pola konsumsi di sini," ucap Bambang.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya