Ekonom: Kebijakan Baru BI Perlu Diikuti Insentif Tambahan

Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate 50 basis poin menjadi 5,25 persen.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 03 Jul 2018, 20:50 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2018, 20:50 WIB
2018, Menko Perekonomian Patok Pertumbuhan Ekonomi Harus 5,4 Persen
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (28/4). Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pertumbuhan ekonomi wajib meningkat hingga 6 persen lebih mulai 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) turut menyoroti berbagai kebijakan baru yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) mulai dari keputusan menaikkan BI-7 day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen sampai relaksasi kebijakan Loan to Value (LTV) atau aturan uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Peneliti INDEF Abra Puspa Ghani Talattov menilai, kenaikan BI-7 day Reverse Repo Rate sebesar total 100 bps sejak Mei 2018 ternyata tidak banyak berpengaruh pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).

"Kenaikan BI 7-DRR sebesar 100 bps dalam 2 bulan terakhir ternyata belum mampu menjinakkan gejolak nilai tukar Rupiah. Artinya, instrumen moneter saja belum cukup meredakan depresiasi, perlu langkah lain dari sisi kebijakan fiskal yang mampu menstimulus ekonomi jangka pendek," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (3/7/2018).

Selain relaksasi LTV yang sudah dibuat bank sentral negara tersebut beberapa waktu lalu, ia memberi masukan terkait kebijakan lain yang harus dikeluarkan, yakni dengan memberikan insentif pembebasan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk pembelian rumah pertama agar permintaan KPR juga meningkat.

"Saya khawatir, justru kenaikan suku bunga acuan BI tersebut malah berbalik arah menekan geliat ekonomi, dipicu kenaikan bunga kredit bank yang akhirnya menghambat ekspansi sektor riil," serunya.

Dia juga menyayangkan, kenaikan suku bunga acuan BI 50 bps yang dinilai cukup besar justru menjadi trade off dengan aturan pelonggaran LTV. Dia menganggap masyarakat menjadi terbebani dengan ada suku bunga cicilan KPR ini.

"Mustinya kenaikan BI 7-DRR bertahap saja, yang penting tunjukkan komitmen dan konsistensi BI serta pemerintah untuk melanjutkan reformasi ekonomi secara struktural dan jangka panjang," kata Abra.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Selasa pekan ini. Mengutip Bloomberg, Selasa 3 Juli 2018, rupiah dibuka di angka 14.397 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.390 per dolar AS. Sesaat kemudian rupiah kembali tertekan hingga ke level 14.429 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.397 per dolar AS hingga 14.429 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 6,16 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.418 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.331 per dolar AS.

 

Alasan BI Dongkrak Suku Bunga Acuan

Rapat Dewan Gubernur BI Memutuskan Kenaikan Suku Bunga Acuan
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo saat jumpa pers di Gedung BI, Jakarta, Jumat (29/06). Pada Rapat Dewan Gubernur BI suku bunga Deposit Facility (DF) juga naik 50 bps menjadi 4,50%, (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bank Indonesia (BI) secara mengejutkan menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day reverse repo rate sebesar 50 basis poin atau bps menjadi 5,25 persen.

Kenaikan suku bunga acuan itu diputuskan usai dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang diselenggarakan pada 28-29 Juni 2018. Selain kenaikan suku bunga acuan menjadi 5,25 persen, suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi 4,5 persen. Suku bunga lending facility sebesar 50 bps menjadi enam persen. Hal itu berlaku efektif sejak 29 Juni 2018.

Lalu apa mendorong BI menaikkan suku bunga acuan tersebut?

Gubernur BI, Perry Warjiyo menuturkan, keputusan kenaikan suku bunga acuan merupakan langkah BI untuk secara pre-emptive, front loading dan ahead of the curve menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara dan ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.

Kebijakan tersebut tetap ditopang dengan kebijakan intervensi ganda di pasar valas dan surat berharga negara (SBN) serta operasi moneter untuk menjaga likuiditas terutama rupiah dan pasar swap antarbank.

“BI meyakini sejumlah kebijakan yang ditempuh tersebut dapat memperkuat stabilitas ekonomi khususnya stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Perry, Jumat 29 Juni 2018.

Ia menuturkan, BI akan terus mencermati perkembangan dan prospek perekonomian domestik maupun global untuk memperkuat respons bauran kebijakan yang perlu ditempuh

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya