Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah mengkaji untuk menurunkan pajak instrumen surat utang berharga atau obligasi. Dengan demikian, arus modal dari instrumen tersebut diharapkan dapat meningkat.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengaku pihaknya telah melakukan evaluasi sejak lima tahun lalu. "Evaluasi dari yang sudah dilakukan sebelumnya sebetulnya sudah dilakukan mulai 2013," kata dia, Senin (24/9/2018).
Dia menjelaskan, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menimbang baik buruk dari kebijakan tersebut.
Advertisement
"Jadi akan lihat apa yang jadi kendala dan bersama-sama dengan BI serta OJK melihat supaya insentif, tidak hanya konversi atau repatriasi tapi juga konversif," ujar dia.
Dia menegaskan untuk saat ini kebijakan penurunan pajak obligasi masih dalam proses evaluasi. "Masih dievaluasi dan akan dilihat," jelas Sri Mulyani.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji pengenaan beban pajak untuk instrumen investasi seperti obligasi. Kajian tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan porsi pasar domestik dalam pembiayaan pemerintah.
"Ini yang sedang dikaji dan dievaluasi termasuk soal tarif yang beragam. Kita mau lihat dulu satu per satu dan apa kepentingannya," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Kajian ini secara komprehensif akan dilakukan terhadap PPh Final untuk instrumen investasi di dalam negeri. Sebab, selama ini pengenaan pajak untuk investasi bervariasi mulai dari deposito hingga obligasi pemerintah.
"Pembicaraannya sudah agak lama ada kajian kita badingkan pro kontra serta advice dari berbagai macam segi apakah yang namanya pajak suku bunga obligasi saat ini yang di pastrough ke yield suku bunga obligasi kita," jelasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pengkajian pajak ini dapat memperkaya sumber pembiayaan-pembiayaan yang berasal dari dalam negeri. Sebab, selama ini gap (jarak) antara tabungan dan investasi masih cukup tinggi.
"Yang paling fundamental dari pendalaman pasar ialah supply dari funding-nya di dalam negeri," jelas Sri Mulyani.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Bertemu Sri Mulyani, Menteri Ekonomi Inggris Bahas Kerja Sama hingga Obligasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerima kedatangan Menteri Muda Inggris Bidang Ekonomi, Jhon Glen, di kantornya, Jakarta.
Pertemuan yang digelar secara tertutup itu berlangsung sejak pukul 08.30 - 09.15 WIB atau sekitar 45 menit. Jhon Glen mengungkapkan, maksud pertemuannya dengan Sri Mulyani merupakan bagian dari kunjungan kerjanya ke Asia.
Dia menuturkan, Inggris dan negara-negara Asia lainnya, seperti Indonesia memiliki lebih banyak ruang untuk tumbuh bersama terutama dalam layanan keuangan.
Baca Juga
"Saya memiliki pertemuan yang sangat-sangat bermanfaat dengan menteri keuangan Anda (Sri Mulyani). Kami membahas berbagai masalah bagaimana kami dapat bekerja bersama karena ekonomi Indonesia terus berkembang dan berkembang," kata Jhon usai melakukan pertemuan di Gedung Juanda Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (24/9/2018).
Dalam kesempatan ini, Jhon turut membahas pertumbuhan ekonomi antarkedua negara. Terlebih lagi, dia juga menyoroti berbagai aspek kerja sama dalam bidang keuangan yang dapat dilakukan dengan pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah melalui sukuk hijau (green sukuk).
"Kami memiliki dana kesejahteraan, dana infrastruktur yang mana kami memiliki program dukungan khusus tersedia untuk mencari tahu bagaimana cara melihat keuangan hijau dan bagaimana memungkinkan itu untuk tumbuh dan berkembang," ujar dia.
Tak hanya itu, Jhon juga memberikan berupa penawaran terkait dengan peluang beberapa perusahaan di Indonesia untuk melakukan penerbitan obligasi di Bursa Efek London.Â
"Kami tidak membahas angka langsung pada titik ini. Jelas, Anda (pemerintah Indonesia) sudah memiliki sejumlah penerbitan di London. Kami di London adalah pemimpin global dalam hal obligasi hijau dan kami telah menerbitkan banyak dalam beberapa tahun terakhir. Yang penting adalah kami memahami, dan semua orang mengerti, bahwa London terbuka untuk bisnis," kata Jhon.
Sebelumnya, Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (Europe Union/EU). Keputusan untuk keluar dari Uni Eropa akan melewati masa transisi pada 29 Maret 2019 hingga 31 Desember 2020. Selama periode tersebut, Inggris tak lagi berpartisipasi dalam proses penentuan keputusan di Eropa.
"Dan apa pun yang kami hadapi terkait perubahan dalam hubungan kami dengan UE, kami terus menjadi pusat global, pusat keuangan global, yang tidak akan berubah," kata dia.
Â
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Â
Advertisement