Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerjasama Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB), meneliti pemanfaatan minyak sawit untuk bahan bakar jenis bensin (gasolin) maupun Liquified Petroleum Gas (LPG).
Selain dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar minyak jenis solar. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, mengatakan, Indonesia yang pertama mengembangkan sawit untuk bensin melalui co-prosessing.
Minyak sawit dicampurkan ke kilang dengan proses cracking, menggunakan katalis Merah Putih, yang juga merupakan produksi anak bangsa, dan akan menghasilkan bensin dan LPG di akhir proses.
Advertisement
Baca Juga
Pemanfaatan sawit untuk bensin ini juga telah dilakukan di beberapa negara seperti di Amerika Serikat, Italia, dan UEA. Namun, yang dikembangkan di negara-negara tersebut adalah membuat pabrik baru yang dapat mengolah langsung sawit dengan bensin sebagai salah satu produknya.
"Yang mereka kembangkan bukan co-prosessing, tapi standalone, dari sawit menghasilkan bensin. Untuk co-processing ini kita yang pertama," kata Dadan, dikutip situs resmi Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (15/4/2019).
Dadan menuturkan, kelebihan lain dari co-prosessing ini masih dapat menggunakan kilang yang sudah Beroperasi (exsisting). Jadi lebih hemat dalam proses produksinya.
"Yang digunakan adalah kilang eksisting, hanya ditambahkan proses di tengahnya untuk menghasilkan bensin dan LPG," imbuh Dadan.
Terkait harga, bensin dari minyak sawit ini nantinya masih akan tergantung dari harga bahan baku sawitnya.
"Ada mekanisme yang saling menguntungkan pastinya, bisa melalui intensif atau bentuk lain, karena kita tahu hingga saat ini di lapangan kita tahu kalau harga minyak goreng selalu lebih mahal dari bahan bakar," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pemerintah Kebut Peremajaan Kelapa Sawit
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menggelar rapat koordinasi mengenai Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit. Rapat ini dihadiri oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hasil rapat memutuskan pemerintah akan melakukan percepatan program peremajaan sawit rakyat (PSR) atau replanting. Hal tersebut menjadi penting dilakukan melihat masih rendahnya realisasi dari target 200.000 hektare (ha).
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengakui bahwa angka realisasi PSR masih rendah. Bahkan, memasuki bulan ketiga 2019 pihaknya baru menerbitkan rekomendasi teknis (rekomtek) seluas 16.000 ha.
"Realisasi baru sedikit. Sampai bulan ini, (rekomtek yang diterbitkan) baru 16.000 ha dari 200.000 ha. Makanya perlu percepatan," ujar Kasdi saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019.
Hingga kini sudah banyak petani kelapa sawit yang mengajukan lahannya untuk dilakukan replanting. Berdasarkan data Kementan, surat pengajuan petani sudah melebihi kuota target program PSR tahun ini.
Namun, untuk memberikan rekomtek, Kementan perlu melakukan verifikasi terlebih dahulu surat perizinan mengenai lahan kelapa sawit petani. "Kalau dokumennya ada cepat. cepat itu artinya sehari juga selesai. Ini kan masalahnya kurang dan sebagainya," tandasnya.
Advertisement
Petani Minta Pemerintah Dorong Harga Sawit ke Level Rp 1.500 per Kg
Sebelumnya, Petani kepala sawit Indonesia berharap pemerintah bisa mendorong penyerapan sawit di dalam negeri dan menyelesaikan masalah kampanye hitam minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Eropa. Hal ini agar harga sawit di tingkat petani bisa kembali naik.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Alfian mengatakan, saat ini harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani saat ini sebesar Rp 1.100 per kg. Angka tersebut turun jika dibandingkan harga terendah tahun lalu.
"TBS sekarang terendah Rp 1.100 per kg, itu masih lumayan tapi akan ini bertahan sampai kapan. Tahun lalu terendah Rp 1.500. (Sekarang) turun 20-30 persen dibanding tahun lalu," ujar dia di Kantor Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Senin, 25 Maret 2019.
Namun, lanjut Alfian, para petani berharap harga kelapa sawit di tingkat petani minimal berada di level Rp 1.500 per kg. Sehingga petani bisa mendapatkan keuntungan dan bisa menyisihkan pendapatannya guna meningkatkan produktivitas sawitnya.
"Harapan kami ke depan harga di tingkat petani nett di harga Rp 1.400-Rp 1.500. Ini bukan di tingkat perusahaan kepala sawit. Kita harapkan pemerintah bisa menjaga harga stabil di tingkat Rp 1.500, itu luar biasa, sangat bahagia kami. Rp 1.500 petani sudah untung, tapi kalau di bawah itu ya kami pas-pasan," kata dia.
Agar harga sawit ini bisa naik, kata dia, maka salah satu caranya dengan mendorong penyerapan kelapa sawit di dalam negeri. Hal ini bisa dilakukan dengan secara serius melanjutkan program pencampuran minyak sawit ke BBM yang saat ini sebesar 20 persen (B20).
"Kalau memang kebutuhan di dalam negeri ini ditingkatkan menjadi B100, otomatis konsumsi meningkat. Dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari kita akan lebih murah," tandas dia.