Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai sejarah kepemilikan lahan di terminal Bahan Bakar Minyak (TBB) atau Depo Plumpang.
Nicke menjelaskan, tanah yang saat ini menjadi Depo Plumpang Pertamina dibeli dari PT Mastraco pada tahun 1971. Pembelian tanah tersebut mencapai Rp 514 miliar dengan luasan mencapai 153 hektare.
Baca Juga
"Pada tahun 1976 dikeluarkanlah ada surat penetapan pemberian hak dari Menteri Dalam Negeri dimana lahan tersebut diperuntukkan untuk pembangunan industri dan instalasi minyak," jelas Nicke dalam Rapat Dengar Pertamina Pendapat dengan DPR yang ditulis pada Kamis (16/3/2023).
Advertisement
Namun ternyata, dari luasan lahan yang dibeli Pertamina tersebut saat ini tidak tidak digunakan seluruhnya untuk instalasi minyak. Ada sebagian daerah yang ditempati atau dihuni warga.
Pada 2017, Pertamina melakukan inventarisasi aset lahan di daerah Depo Plumpang tersebut. Tidak sendiri, inventarisasi tersebut dilakukan oleh pihak ketiga yaitu Survei Indonesia. Hasilnya, terdapat 34.707 orang yang tinggal di tanah milik Pertamina Tersebut.
"Dengan jumlah KK (Keluarga) 9.234 KK waktu itu. Untuk hari ini pasti sudah bertambah jumlahnya yang tinggal di situ," teras Nicke.
Saat ini, tanah yang digunakan oleh Pertamina untuk Depo Pertamina dan juga ada beberapa tangki Elnusa di dalamnya kurang lebih hanya 72 hektare. Sedangkan di luar itu tidak dikuasai oleh Pertamina tetapi ada rumah penduduk.
"Untuk di wilayah Tanah Merah itu sendiri mencapai 52 hektare," kata Nicke.
Pengamat: Buffer Zone di Kilang Cegah Bahaya Sampai ke Masyarakat
Keberadaan buffer zone dinilai sangat diperlukan bagi Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) atau kilang karena bisa melindungi masyarakat jika terjadi kebakaran dan ledakan pada objek vital nasional (Obvitnas) itu.
Seperti pada keberadaan Depo Plumpang di Jakarta yang terbakar di bagian pipanya. Ini diungkapkan Pengamat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Juwari.
"Intinya buffer zone sangat diperlukan. Karena potensi bahaya (di TBBM dan kilang) pasti ada, mulai dari bahaya ringan hingga bahaya yang tinggi risikonya. Dan jika terjadi ledakan, diharapkan efek ledakan hanya sampai buffer zone, tidak sampai ke penduduk,” ujar dia melansir Antara di Jakarta.
Wakil Dekan Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem (FT-IRS) ITS ini menerangkan, bahaya ringan bisa bersumber dari kebocoran BBM dalam jumlah kecil yang kemudian menyebar (terdispersi).
Namun, bahaya kecil tersebut bisa menjadi risiko sedang dan besar jika kebocoran cukup banyak sehingga menyebar ke wilayah yang cukup luas.
Juwari menjelaskan penyebaran minyak akan menjadi penyebab kebakaran jika sudah mencapai komposisi yang mudah terbakar dan ada pemantik antara lain motor yang lalu lalang.
Advertisement
Efek Ledakan
Bahkan, jika sudah masuk wilayah perumahan, sumber pemantik akan semakin banyak, seperti kompor di dapur atau warung-warung, tambahny, di sinilah antara lain pentingnya buffer zone.
"Jika terdapat buffer zone tentu diharapkan akan memiliki waktu yang cukup sebelum mencapai perumahan. Karena biasanya terdapat warning berupa sinyal dari sensor flammable cloud yang berbunyi,” katanya.
Juwari menambahkan, kebakaran bisa menjadi penyebab ledakan jika mencapai tangki timbun. Ledakan tersebut bisa merusak pagar jika kekuatan pagar lebih rendah dari kekuatan ledakan.
Dengan adanya buffer zone inilah, menurut dia, diharapkan efek ledakan hanya sampai area penyangga dan tidak berdampak ke penduduk.
Terkait luasan buffer zone yang optimal, Juwari menyatakan saat ini sudah terdapat software yang bisa memprediksi luasan area penyangga. Piranti lunak tersebut akan mensimulasikan seberapa luas area terdampak jika berada pada kondisi terburuk (ledakan tangki).