Awas, Penyimpanan Karbon Bisa Bikin Air Tanah Tercemar

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendukung in/isiasi teknologi penangkapan karbon untuk diolah dan dijual, atau CCS/CCUS di sektor industri hulu migas.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 21 Sep 2023, 20:00 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2023, 20:00 WIB
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Karbon dioksida (CO2) (Sumber: Pixabay)

Liputan6.com, Bali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendukung in/isiasi teknologi penangkapan karbon untuk diolah dan dijual, atau CCS/CCUS di sektor industri hulu migas. Teknologi tersebut dipercaya mampu menekan pembuangan emisi karbon dan polusi yang mencemari udara.

Namun, Staf Ahli Menteri Bidang Energi KLHK Haruni Kirisnawati mempertanyakan, apakah penyimpanan karbon bisa bantu mereduksi emisi.

Haruni tak memungkiri, teknologi CCS memainkan peran vital dalam mereduksi gas emisi. Akan tetapi, mengacu pada laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menemukan bahwa estimasi ongkos saat ini dan masa depan untuk CCS dipenuhi ketidakpastian.

"Sejumlah studi menemukan penggunaan CCS berbarengan dengan peningkatan efisiensi konversi energi, penggunaan sumber energi terbarukan dapat secara signifikan menekan ongkos untuk menstabilkan konsentrasi atmosfir terhadap karbon dioksida," ungkapnya dalam ICIOG 2023 di Bali Nusa Dua Convention Center, Kamis (21/9/2023).

Menurut dia, rencana penerapan CCS/CCUS butuh upaya besar untuk berkontribusi dalam menekan emisi karbon di level regional, termasuk Indonesia.

Risiko

Di sisi lain, Haruni menyebut terdapat sejumlah risiko yang harus diperhatikan, antara lain potensi kebocoran selama proses penangkapan, pengangkutan dan penyimpanan karbon. Ada juga potensi dampak terhadap lingkungan dari penyimpanan karbon jangka panjang di bawah tanah.

"Kemudian risiko terhadap kesehatan yang mungkin terjadi dari kebocoran penyimpanan karbon dioksida atau dari kontaminasi air tanah," ungkap Haruni.

"Mengacu pertimbangan itu, implementasi kebijakan terkait CCS harus benar-benar diperhatikan untuk menjamin bahwa ini tidak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, ekosistem dan sosial," tuturnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Indonesia Jadi Penentu Dunia

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyebut negara-negara di dunia bisa gagal kejar target penurunan emisi karbon jika Indonesia saja tak berhasil. Ini merujuk pada masifnya potensi yang dimiliki Indonesia.

Mahendra mencatat, dari hulu ke hilir, Indonesia punya potensi besar untuk mendorong upaya penurunan emisi gas rumah kaca atau emisi karbon. Maka, Indonesia digadang-gadang menjadi pelopor pada upaya tersebut.

"Bukan hanya dalam rangka memenuhi komitmen dan keputusan nasional dalan nationally determined contribution (NDC) tapi saya lihat dan kita semua itu secara global, malau Indonesia gak berhasil langkah tadi, maka kita tak optimis kalau dunia akan berhasil," ujar dia dalam Seminar Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dan Peluang Perdagangan Karbon di Indonesia, Jambi, Senin (18/9/2023).

"Karena di tempat lain kita tak melihat potensi sebesar di Indonesia dalam nengurangi emisi karbon," sambungnya.

 


Lahan Gambut

BRI
BRI Kembali Tanam Bibit Mangrove di Pulau Tidung, Total 10.500 Bibit di 2023 Guna Dukung Emisi Karbon/Istimewa.

Mahendra mencatat, sebagai salah satu contohnya adalah masifnya lahan gambut yang ada di Tanah Air. Mengingat, lahan hijau menjadi kunci berhasilnya upaya menurunkan emisi karbon. Tentunya disamping dari upaya operasional yang rendah emisi.

"Kami tinjau restorasi gambut yang bisa diupayakan yang sebelumnya dianggap suatu lahan diolah kemudian bisa lahan tadi bisa direstorasi. Kita harus bisa membuktikan bahwa kita jauh lebih mampu daripada bangsa lain," tegasnya.

Dia mengaca ke banyak negara, khususnya di kawasan Eropa. Mahendra mengatakan banyak lahan gambut di Eropa dan negara barat hampir musnah dan berganti menjadi bangunan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya