Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani, menyadari gugatan uji materi atau judicial review terkait Pajak Hiburan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi akan membutuhkan waktu yang lama, lantaran sebentar lagi akan dilaksanakan Pemilu 2024.
Diketahui pengusaha industri hiburan telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 58 Ayat (2) terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Baca Juga
Pengajuan gugatan disampaikan langsung oleh Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani yang didampingi oleh Kuasa Hukum DPP GIPI Muhammad Joni, S.H., M.H, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas dan Pengurus DPP GIPl beserta Pelaku Usaha Hiburan.
Advertisement
"Karena proses gugatan ini akan memakan waktu yang cukup panjang karena kita tahu akan dilaksanakan Pemilu. Jadi, kami memperkirakan ini prosesnya akan panjang," kata Hariyadi, dalam konferensi pers Pendaftaran Uji Materiil UU 1/2022 Yang Terkait Dengan Pajak Hiburan, di kantor Mahkamah Konstitusi, Rabu (7/2/2024).
Haryadi mengatakan, pengusaha di industri hiburan akan bersabar menunggu hingga uji materil terkait pajak hiburan dibahas oleh Mahkamah Konstitusi.
"Setelah proses sengketa Pemilu selesai, kemungkinan ini baru dibahas oleh hakim konstitusi," ujarnya.
Diimbau Membayar Dulu
Oleh karena itu, kata Hariyadi, sembari menunggu uji materil dibahas oleh Mahkamah Konstitusi, pihaknya akan mengedarkan Surat Edaran (SE) kepada pelaku usaha jasa hiburan yang terdampak dari beleid tersebut.
"Intinya kami menghimbau mereka untuk membayar tarif pajaknya mengikuti tarif yang lama. Jadi, sementara begitu agar mereka tetap bisa bertahan, sambil kita menunggu kepala daerah setempat mengeluarkan diskresi kebijakan," tegasnya.
Menurutnya, jika tidak ada SE maka pelaku usaha industri hiburan dikhawatirkan membayar pajak sesuai dengan peraturan terbaru yakni sebesar 40-75 persen. Hal itu dapat membuat mereka mengalami kesulitan dan usahanya bangkrut.
"Karena kalau ini nanti mereka bayar sesuai tarif baru dapat dipastikan mereka akan mengalami kesulitan dan bahkan berhenti beroperasi. Kami menghindari itu, maka kami kirim SE yang posisinya tetap bayar pajak hiburan tapi mengikuti tarif yang lama," pungkasnya.
Advertisement
Mendagri Siap Hadapi Judicial Review Pengusaha soal Aturan Pajak Hiburan
Sebelumnya, pengusaha di sektor hiburan melayangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pajak hiburan di Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkap pihaknya siap menghadapi gugatan tersebut.
Tito mengatakan, judicial review merupakan langkah hukum yang jadi hak setiap warga negara, termasuk pada pengusaha hiburan seperti karaoke hingga spa. Maka, dia menghormati upaya hukum tersebut.
"Gapapa, itu kan hak. Kita justru silakan kalau ada yang.., bagusnya begitu, bagusnya, ada yang gak puas, judicial review, diminta aja JR ke Mahkamah Konstitusi," ujar Tito di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (29/1/2024).
Sebagai perwakilan pemerintah, Tito menyebut akan menghadapi proses hukum tersebut. Dia turut menyinggung kalau perumusan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) hiburan atau pajak hiburan dalam UU HKPD melibatkan pemerintah dan DPR RI.
"Nanti ktia akan hadapi. Karena yang membuat undang-undang kan pemerintah dan DPR. DPR ada perwakilan, pemerintah ada perwakilan. Jadi kita dorong JR-nya," paparnya.