Liputan6.com, Jakarta Warung kelontong dinilai bisa kehilangan pendapatan jika dilarang menjual rokok eceran. Bahkan, pendapatannya disinyalir bisa anjlok hingga 60 persen, padahal pemasukannya pun masih terbilang kecil.
Selretaris Umum Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (Perpeksi), Wahid menyampaikan pendapatan warung kelontong hanya sekitar Rp 5 juta dalam satu bulan. Sumber paling besarnya dari penjualan rokok.
Baca Juga
Dia menyayangkan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang salah satunya mengatur penjualan rokok eceran diberlakukan. Wahid bilang, warung kelontong keberatan atas pemberlakuan itu.
Advertisement
"Ini sangat yang pada ujung-ujungnya anggota kami maupun kami sebagai pelaku usaha pedagang kelontong yang notabene di situ pasti ada menjual rokok. Tidak lepas dari itu. Kalau dibilang ini tidak boleh jualan ecer ini jadi problem pertama," ucap Wahid, dalam Diskusi Media di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Dia menjelaskan, banyak pelanggan yang datang ke warung kelontong untuk beli rokok eceran. Jika pembatasan itu berlaku, maka pedagang kelontong bisa kalah saing dengan swalayan atau supermarket.
"Otomatis jika hal ini dilarang ya tentu akan menurunkan omzet, pendapatan. Dan ujung-ujungnya juga tidak akan mungkin menutupi biaya hidupnya, apalagi seperti yang tadi disampaikan biaya hidup semakin naik," paparnya.
Wahid mengungkapkan, meski banyak dagangan yang ditawarkan di satu warung kelontong, tapi penjualan rokok menjadi salah satu penopang utama. Pendapatannya pun ditaksir bisa anjlok hingga 60 persen.
"Terus terang, bagi kami sebagai usaha kecil, yang modalnya juga minim. Pendapatan untuk penjualan itu didominasi dari penjualan rokok. Sekitar 60-70% penjualan rokok. Dan rata-rata penjualannya ngecer perbatang karena memang banyak kemampuan di bawah juga, ini kan skalanya di gang-gang kecil," urainya.
Kerek Penjualan Produk Lain
Lebih lanjut, Wahid mencurahkan, pembeli rokok biasanya ikut membeli barang lainnya. Sebut saja, minuman kemasan atau kopi. Artinya, ada tambahan pemasukan lainnya.
"Padahal dari rokok itu, yang saya alamin, orang beli rokok pasti beli minum. Jadi ada efeknya, ada impact. Pasti pertama orang beli rokok, beli minum, beli apa, segala macam, kadang beli kopi. Jadi ada efeknya. Kalau tidak ada rokok pasti turun pendapatannya," jelasnya.
Wahid juga menyayangkan ada pembatasan jarak warung yang boleh menjajakan rokok sejauh 200 meter dari pusat pendidikan atau kegiatan anak-anak.
"Kemudian mengenai pembatasan juga yang 200 meter di tempat-tempat pendidikan. Orang yang sudah punya rumah, di sana buka toko di rumahnya, apakah dia harus pindah? Pindah rumah gitu? Kan jadi beban buat mereka. Ini sangat sekali memukul kami sebagai pelaku usaha kecil, kelas UMKM," sebutnya.
Advertisement
UMKM-Pedagang Pasar Khawatir Omzet Anjlok
Sebelumnya, Pemerintah membatasi penjualan rokok eceran hingga zonasi dari pusat pendidikan dan lokasi permainan anak. Namun, kebijakan ini dinilai malah merugikan pelaku UMKM, pedagang warung, hingga pedagang pasar.
Informasi, ketentuan pembatasan penjualan rokok itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Aturan itu diharapkan bisa menurunkan tingkat perokok anak.
Sayangnya, pelaku UMKM memandang dampak lain dari aturan tersebut. Salah satunya soal kekhawatiran anjloknya pendapatan pelaku usaha dari larangan penjualan rokok.
"Kami di Jatim khususnya, ada 900 lebih koperasi ritel dan juga 2.050 toko lokal yang mereka rata-rata mengandalkan omzet dari pejualan rokok. Banyak anggota koperasi yang mereka mengandalkan penjualan rokok karena kontribusi omzetnya mencapai 50 persen," ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dam Ritel Indonesia, Anang Zunaedi dalam Diskusi Media di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Bersurat ke Presiden
Dia menegaskan, sudah pernah bersurat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Koperasi dan UKM. Dia berharap ada solusi atau rencana kebijakan tersebut.
Anang bilang, aturan soal batasan penjualan rokok sebelumnya yang berlaku tidak pernah dilanggar. Seperti penjualan rokok terhadap batas usia tertentu. Dia juga menentang keras pembatasan zonasi minimal 200 meter dari pusat pendidikan.
"Sangat terasa sekali ya, yang jelas (UMKM) akan kehilangan omzet. Kawan-kawan UMKM itu kontribusinya 50 persen (dari penjualan rokok). Gimana dengan toko yang lain juga, otomatis dengan zonasi mereka gak bisa jualan. Kami tolak. Kita akan upayakan bagaimana PP ini bisa dibatalkan," tegasnya.
Advertisement