Liputan6.com, New York - Pada hari Kamis 20 Agustus 2015, Presiden ke-39 membuat babak baru, dan mungkin babak akhir. Memasuki ruangan Carter Center yang dipenuhi awak media, ia berjalan gesit seperti kucing. Dengan langkah ringan, penuh keberanian dan jelas serta dibumbui humor, ia mengumumkan penyakit kankernya yang kali ini menggerogoti bagian otak.
"Aku sudah punya kehidupan yang indah. Aku punya ribuan teman. Aku sudah berpetualang, " kata Carter yang kini berusia 90 tahun pada konferensi pers yang disiarkan televisi nasional dari Carter Center, seperti dimuat di LA Times Jumat (21/8/2015).
Baca Juga
Bahunya sudah membungkuk, tapi suaranya tegas dan matanya bersinar meski membahas terapi radiasi yang ia hadapi. Carter juga berbicara rincian kondisi medis dan dampak terhadap kehidupannya.
Advertisement
Dalam kesempatan ini, selain membicarakan kesehatannya, Carter juga menceritakan kegagalannya pada saat menyelamatkan sandera AS di Iran tahun 80. Saat itu ia menjabat sebagai orang pertama AS yang juga berhasil mendamaikan Arab dan Israel.
"Harusnya saya sediakan satu heli lagi untuk menyelamatkan mereka. Tapi tidak. Kalau selamat, saya kan bisa dipilih lagi," kata Carter sambil tersenyum lebar.
David Axelrod, mantan kepala strategi Presiden Obama, mengatakan di Twitternya, "Presiden Carter mengajarkan kita semua pelajaran dalam menghadapi kematian kita sendiri."
Ken Khachigian, penulis pidato Reagan, memuji keberanian Carter saat mengumumkan penyakitnya. Ronald Reagan juga presiden AS yang mengumumkan penyakit Alzhaimernya di depan publik.
Fakta-fakta medis Carter ternyata cukup mengkhawatirkan. Dokter masih tidak tahu sumber dari mana kanker melanomanya berasal. Kanker ini berhasil terdeteksi di hatinya pada bulan Mei. Di awal bulan Agustus, dokter kembali menemukan 4 bintik-bintik kecil pada otak Carter.
"Saya hanya berpikir masih punya beberapa minggu lagi," kata Carter.
Carter, mantan presiden AS kedua yang masih hidup --yang pertama adalah George HW Bush -- mengatakan dia hanya sedikit rasa sakit dan terus berharap hidupnya berlanjut. Meski didera penyakit mematikan.
Kedua mantan presiden itu memilih untuk membuat pengumuman tentang kesehatan mereka secara tertulis, seperti Ronald Reagan lakukan pada tahun 1994, ketika ia mengungkapkan menderita penyakit Alzheimer.
"Hidup saya sudah di tangan Tuhan," tutup Jimmy Carter diikuti tatapan penuh cinta sang istri.
Jimmy Carter dan Mitos HAM
Semenjak Jimmy Carter terpilih sebagai presiden Amerika Serikat ke-39, ia menawarkan semacam 'jamu' untuk negara yang telah muak dengan skandal 'Watergate' Presiden Nixon --pendahulunya-- dan kecewa dengan Perang Vietnam. Dia adalah seorang pria tanpa kalimat berbunga-bunga saat berbicara. Â
Dalam pemerintahannya, Amerika Serikat menyematkan semboyan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negerinya. Namun, realita berkata lain.
Sepanjang ia memimpin, Amerika Serikat berada di balik rezim otoritarian dan diktaktor negara-negara yang mereka dukung, antara lain, ia pernah mengundang Robert Mugabe, rezim pembunuh dan koruptor Zimbabwe ke Gedung Putih.
Carter juga pernah mendapatkan ucapan terima kasih dari Presiden China Hun Jintao atas usahanya memutuskan hubungan diplomatik Beijing dan Taiwan, seperti dikutip dari the Gateway Pundit.Â
Di balik senyum ramahnya, Carter adalah pendukung rezim Shah Iran dan berada di balik gerakan revolusioner Iran pada masa itu. Carter dan pemerintahan AS juga mendukung diktator Somoza yang memimpin Nikaragua selama 44 tahun. Pada masa invasi Indonesia ke Timor Timur tahun 1977, Carter menghujani kemudahan pembelian senjata kepada militer Indonesia.
Namun dalam empat tahun pemerintahannya yang penuh dengan 'onak dan duri', mantan gubernur Georgia itu tampaknya kehilangan pesona bagi sebagian besar pemilih AS.
Penampilannya lelah dan membosankan. Setelah satu periode, orang-orang Negeri Paman Sam memutuskan mereka bisa berbuat lebih baik, dan menggantikannya dengan Ronald Reagan yang ramah.
Setelah pensiun, ia menjadikan dirinya role model bagi kebijakan sipil. Mendirikan Jimmy Carter pada tahun 1982 organisasinya ini berperan dalam penyelesaian masalah konflik internasional, pengawasan pemilu dan kebijakan publik serta membantu mengentaskan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
Akibat kepiawaiannya berdiplomasi, 'penengah konflik', membuat pria yang kini berusia 90 tahun diganjar Nobel Perdamaian pada tahun 2002 yang banyak menuai protes dari kalangan aktivitis HAM. (Rie/Tnt)