9 Diktator Penulis Buku

Adolf Hitler bukanlah satu-satunya diktator yang pernah menulis buku dan karya tulis lainnya.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 02 Jan 2016, 20:17 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2016, 20:17 WIB
Buku 'Mein Kampf' Diterbitkan Ulang di Jerman
Adolf Hitler bukanlah satu-satunya penguasa diktator yang pernah menuliskan buku dan karya tulis lainnya.

Liputan6.com, Canberra - Memasuki tahun 2016, perubahan terjadi di Jerman. Larangan untuk menerbitkan buku Mein Kampf karangan Adolf Hitler menjadi kedaluarsa.

Artinya, sejak 1 Januari 2016, ‘Mein Kampf’ tidak lagi terlarang dan boleh terbit lagi di Jerman.

Dikutip dari ABC pada Sabtu (03/01/2016), ternyata Adolf Hitler bukanlah satu-satunya penguasa diktator yang pernah menuliskan buku dan karya tulis lainnya. Berikut ini adalah sejumlah penguasa diktator yang diketahui pernah menulis:

1. Adolf Hitler

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya. (Sumber histoty.co.uk)

Paling dikenal dengan bukunya yang berjudul Mein Kampf yang ditulisnya selagi menjadi tahanan politik terkait percobaan kudeta yang gagal pada 1923.

Dalam buku itu, ia menengarai kaum Yahudi sebagai bagian dari konspirasi menuju tampuk kepemimpinan dunia. Iapun menyebut mereka rendah secara ras dan ideologi, sedangkan Arya dan Nasional Sosialis dipandang ras superior.

Setelah meraih kekuasaan pada 1933, buku itu menjadi sangat terkenal. Pada akhir perang, ada jutaan kopi yang telah dijual dan tersebar di Jerman.

Pemerintah negara bagian Bavaria, seturut perjanjian dengan Jerman, menolak untuk menyalin ataupun mencetak buku itu sesudah masa perang. Tapi buku itu legal di sejumlah negara semisal India, Kanada, AS, dan Turki.

2. Benito Mussolini

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya. (Sumber factslegends.org)

Diktator Italia ini bersama-sama dengan filsif Giovanni Gentile menulis Doktrin Fasisme, sebuah essai yang pertama kali diterbitkan pada 1932

Essay itu dipandang sebagai pengejawantahan pandangan politik sekaligus pengelanaan tentang fasisme oleh Mussolini setelah ia meraih kekuasaan secara konstitusional pada 1922 dan menegakan cara diktator pada 1925.

Mussolini ditangkap pada 1943 dan dibebaskan dari penjara oleh pasukan khusus Jerman, namun tertangkap dan dihukum mati oleh pasukan Italia. Jasadnya yang setengah telanjang digantung terbalik menjadi pemandangan warga di kota Milan.

Sang Jenderal Julius Caesar



3. Julius Caesar

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya. (Sumber Clara Grosch via Wikipedia)

Julius Caesar menuliskan pengalaman serangan di Gaul atau Galia ketika ia masih menjadi jenderal terkemuka Romawi. Di dalamnya, ia membeberkan pertempuran dan intrik-intrik yang berlangsung selama masa 9 tahun.

Serangkaian kemenangannya mengundang rasa iri para musuhnya di kota Roma dan Julius Caesarpun menuliskan hal  itu untuk menggalang dukungan masyarakat umum.

Walaupun sukses di Gaul, ia kemudian menghadapi perang sipil, meraih kekuasaan di Roma, dan kemudian diangkat menjadi diktator seumur hidup sebelum dibunuh oleh para senator yang melawan pada 15 Maret 44 M.

4. Saddam Hussein

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya.(Sumber CNN)

Menurut putrinya, diktator terguling di Irak itu menyelesaikan novel ke empatnya ‘Enyahlah, Setan-setan’ sehari sebelum pasukan AS menduduki negaranya pada 2003.

Buku setebal 256 halaman itu berkisah tentang pergumulan antara Timur Tengah dan AS. Buku itu diterbitkan secara controversial oleh suatu penerbit Jepang pada 2008, setelah dilarang di Yordania.

Sejumlah novel sebelumnya oleh Hussein berkutat tentang kepahlawanan Irak, kisah cinta antara pemimpin bengis dengan istrinya yang tertekan dan berasala dari kalangan jelata, dan otobiografi pembentukan kekuasannya dalam Partai Baath.

Ada juga buku tentang seorang ksatria Arab yang menyelamatkan sebuah kota dari siasat untuk mendongkel penguasanya. Buku ‘Yang Terkutuk, Enyahlah Dari Sini’ diterbitkan di Yordania pada 2005 setelah kematiannya. Kata pengantar ditulis oleh putrinya dan berisi sanjungan kepada sang ayah.

Selain itu, Hussein juga menulis sejumlah puisi.

5. Joseph Stalin

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya.(Sumber Fox News)

Joseph Stalin menuliskan propagandanya yang oleh kaum Bolshevik dipakai sebagai “pengganti Alkitab”.

Buku yang diterbtikan pada 1938 itu berisi tafsiran sang diktator Soviet di masa awal Partai Komunis dan disebut sebagai buku yang paling banyak dibagikan di bawah pemerintahan Stalin—di Rusia saja ada lebih dari 42 juta buku yang dicetak.

Ia juga menulis sejumlah buku lain termasur karya dan kritik Leninisme, ekonomi sosialis, dan sastra. Ada juga bunga rampai karya essainya.

Stalin meraih kekuasaan setelah kematian Lenin pada 1924. Ia dengan bengis menekan para pembangkang, membunuh lawan-lawannya, membersihkan para perwira Pasukan Merah dan bertanggungjawab atas kematian jutaan rakyat biasa melalui kebijakan kolektif yang dipaksakan dan kamp tahanan Gulag hingga akhirnya ia meninggal pada 1953.

Praktik-praktik pada Stalin dirombak oleh Nikita Kruschev dalam Pidato Rahasia tahun 1956, yang merupakan pengakuan pertama rejim Soviet tentang kejahatan pidana oleh Stalin.

Buku Merah Mao Zedong

6. Mao Zedong

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya. (Sumber biographyonline.net dan Wikipedia)

Pendiri Republik Rakyat Tiongkok ini menulis salah satu buku yang paling banyak diterbitkan dalam sejarah, ‘Buku Merah Mungil’.

Judul sebenarnya adalah ‘Rangkaian Kutipan Dari Pemimpin Mao Zedong’. Buku petunjuk politik terbitan 1964 ini berisi sejumlah pernyataan dan pemikiran terpilih mantan ketua Partai Komunis Tiongkok tentang 33 aspek kehidupan di bawah kekuasaan partai.

Buku itu memiliki sampul berwarna merah dan berukuran kecil untuk masuk dalam saku, sehingga muncullah istilah ‘Buku Merah Mungil’.

Mao juga adalah seorang pujangga yang diakui dan menerbitkan sejumlah karya tentang filsafat dan peperangan.

7. Enver Hoxha

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya. (Sumber espressostalinist.com)

Enver Hoxha adalah seorang pempimpin komunis Albania dari 1944 hingga 1985. Kepemimpinannya dicirikan dengan dihapusnya hukuman panjang penjara terhadap lawan politiknya, dan gencarnya penggunaan hukuman mati.

Ia menulis sembilan bagian, termasuk sejumlah volume pidato dan perbincangannya, pemikiran tentang Tiongkok, dan analisis hubungan Soviet-Amerika.

Pada 1973, ia mengalami serangan jantung dan setelah bertahun-tahun menderita sakit, ia meninggal pada 1985 karena gagal jantung. Albania kemudian jatuh dalam kemacetan ekonomi dan negeri itu menjadi salah satu yang termiskin di Eropa selama masa Perang Dingin.

8. Kim Il-sung

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya.(Sumber stuff.co.nz)

Pemimpin Korea Utara adalah seorang penulis serba bisa. Tokoh revolusioner negara Stalinis ini menerbitkan sekitar 10.800 karya—termasuk puisi, drama, dan setidaknya 8 otobiografi—antara tahun 1948 dan 1994 (tahun wafatnya).

Kim bersikeras menyebarkan gagasannya tentang Juche—suatu angan-angan masyarakat Korea Utara sesudah 1946. Isinya berkisar kepada filsafat sosialisme pedesaan, pertanyaan yang diajukan oleh wartawan Irak, dan rencana 10 langkah untuk penggabungan kembali dengan Korea Selatan.

Menurut pihak Korea Utara, karya ini telah diterjemahkan ke lebih dari 60 bahasa. Versi bahasa Inggrisnya dapat dibaca secara online.

Putra sekaligus penerusnya, Kim Jong-il, disebut-sebut telah menuliskan 900 karya terkait Juche, sosialisme, amanah ayahnya, dan perfilman.

9. Moamar Khadafi

Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya.(Sumber Twitter akun @mgaddafi)

Politisi revolusioner yang terguling ini berkuasa di Libya selama lebih dari 40 tahun hingga 2011. Tulisannya merujuk kepada buku Mao dan diberi judul Buku Hijau terbitan 1975.

Sebagaimana halnya dengan ‘Buku Merah Mungil’ oleh Mao Zedong, versi Khadafi menjabarkan filsafat politiknya dan menjadi ‘bacaan wajib’ bagi seluruh warga Libya.

Sejumlah ‘slogan kenangan’ dalam buku itu menyangkal demokrasi liberal dan kapitalisme, namun memuji ‘kebebasan berekspresi’. Isi bukunya menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Bukan hanya itu, sejumlah kutipannya dipasang di papan iklan dan dibacakan di televisi dan radio.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya